Pagi – pagi Safika sudah membuatku bête, deh. Pas masuk,dia langsung menatapku tajam. Duh, kaya apaan aja sih !! Dia melihatku seakan – akan aku seorang penyelundup yang lagi dia mata – matai. Ya sudah, aku buru – buru saja kabur ke bangku belakang, duduk dan meletakkan ranselku yang membuat badan pegel – pegel saking beratnya. Di situ sudah ada Chira dan Lala. Langsung aku suruh mereka mendekat, karena aku sudah tidak sabar untuk membicarakan tentang Safika dan aku tidak mau Safika mendengarnya.
“Chira, sini deh. Aku ada informasi baru tentang Safika.”, kupanggil Chira.
“Jadi, aku tidak dipanggil nih ? Jahat ya, Viana.”, Lala pura – pura merengut.
“Aduh,sori – sori, bukan begitu, La. Kelupaan. Sebenarnya mau mengatakan ‘Chira, Lala, sini deh’. Cuma kelewatan gara – gara terlalu bersemangat. Hehe”, jelasku sambil nyengir. “Peace, Lala !”
“Ya sudah deh,ngga apa - apa, aku juga cuma becanda kok, hahaha.”, sahut Lala sambil tertawa. “To the point, memang kau punya informasi apa ?”
“Begini, kemarin si Nata sms ke aku, bilang kalau Safika minta foto aku ke dia, buat dibakar !!”, ceritaku berapi – api.
“Hah ???”, Chira dan Lala terbengong – bengong.
“Sstt !!”, kuinjak kaki mereka berdua. “Jangan keras – keras dong ! Satu kelas jadi pada nengok tahu !”
Separuh kelas makin melihat kearah kami karena aku bicara agak keras juga. Jadi terpaksa aku mengalihkan sedikit.
“Umm .. halo .. halo .. kenapa.. kok pada ngeliatin ? Hahaha.”, aku tersenyum terpaksa dan meringis. Aduh, memalukan sekali.
Setelah semuanya kembali normal, kami hendak kembali membicarakan tentang Safika. Tapi, Catherine keburu datang, dan ritual tos kami harus dilakukan terlebih dahulu.
“Halo semua !!”, seru Catherine ceria ketika memasuki kelas.
“Cath ,, sini !”, ajakku.
Catherine mendekat dan segera duduk di bangkunya di sebelah Lala.
“Ada apa ini ? Konferensi Meja Bundar ya ?”, Catherine celingak celinguk.
“Bukan”, sambar Chira cepat.”Tapi Konferensi Meja Kotak.”
“Mana ada”, sahut Lala.
“Sudah ah, jayus amat. Konferensi nya sudah akan dimulai nih, cuma dari tadi sinyalnya putus – putus terus.”, kataku gak nyambung.
“Dih, emang HP pake sinyal – sinyal.”, sambung Catherine.
“Woi ! Dari tadi yang mau diomongin tidak bisa – bisa.”.
“Ya udah, mulai deh, konferensinya ..”
Aku menjelaskan semua informasi yang kuterima dari Nata. Setelah itu, kami hendak berunding lebih lengkap di toilet putri. Namun sebelumnya, kami mengamankan semua foto dan barang berharga kami, karna khawatir akan diapa-apakan. Habis ini kami akan berkegiatan diluar kelas, makanya barang-barang kami harus dibawa, terutama foto. Kami takut Safika akan mengambilnya dan menggunakannya untuk yang aneh – aneh. Lalu, Catherine mencetuskan sebuah ide.
“Eh, sementara kita ke toilet, aku akan pura – pura tidak sengaja menjatuhkan plastik yang berisi foto – fotoku di depan Safika. Terus nanti kita lihat, fotoku masih ada di tempatnya atau tidak saat kita kembali. Oke ?”
Aku, Chira, dan Lala tersenyum. Lalu kami toss, dan buru – buru ngibrit ke toilet.
“HP Chira, aman ?”, tanya Lala ketika kami sampai di toilet. HP Chira tidak bisa dia pegang sendiri karena seragam tugasnya tidak memiliki saku.
“Aman, ada di sakuku.”, jawabku.
“Lalu bagaimana dengan HP-mu sendiri ?”
“Oh iya”, aku menepuk keningku.”HP-ku gimana ya ?”
“HP Chira aku saja yang pegang”, ujar Catherine.
“Ini.”, kuoper HP Chira ke Catherine.
“HP-mu Catherine ?”, tanya Chira.
“Muat kok, di sakuku sendiri. HP ku kan bukan QWERTY seperti kalian. “
“HP Lala ?”
“Aman.”
“HP Viana ?”
“Aman.”
“Foto – foto ?”
“Aman, dipegang masing – masing, kecuali foto Chira di Viana, foto Catherine masih di hadapan Safika.”
“Oke, kalau begitu beres.”, ujarku.
“Vi,kau duluan yang balik ke kelas, supaya Safika tidak curiga, and jangan lupa periksa foto Catherine ya.”
“Sip.”
Aku segera melangkah keluar toilet dan masuk ke dalam kelas. Ternyata foto Catherine masih ada di tempat dijatuhkannya tadi. Langsung saja kuambil foto – foto itu, tentu saja dengan sedikit berakting agar tidak mencurigakan.
“Aduh, si Catherine ceroboh sekali sih, masa fotonya bisa jatuh di sini.”, kupungut foto – foto Catherine dan kumasukkan ke dalam saku.
Tak lama kemudian, Chira, Catherine, dan Lala kembali.
“Gimana Vi, fotonya Catherine diambil tidak ?”, tanya Lala.
“Nggak.”
“Hmm … Ya udah deh, kita turun dulu yuk, kegiatan di bawah udah mulai tuh. “
Sesaat kemudian, kelas 6d pun turun dengan sedikit komando dariku dan Hiero.
Kami melakukan kegiatan semacam ekskul pilihan masing – masing. Aku mengambil Basket. Lala mengambil Futsal, sementara Catherine dan Chira ikut pelatihan bulutangkis. Tetapi karena Chira sedang di panggil ke Sakristi, kami yang harus membawa barang – barangnya.
Bel istirahat berbunyi pada pukul 08.30 dan kami harus kembali ke kelas untuk istirahat lalu melanjutkan pelajaran seperti biasa.
Pak Haryono memasuki kelas pada pukul 09.00 dan memberi kami setumpuk tugas. Tapi kami diberi keringanan dengan diizinkan bekerja sama. Aku, Chira, Lala, dan Catherine memutar balik kursi, dan mengajak Matt serta Christ bekerja kelompok dengan kami.
“Nah, kalian boleh bekerja sama, tapi tidak boleh saling mengganggu. Renata, Safika, ikut Bapak ke lab IPA, sekarang .”, perintah Pak Haryono.
“Buat apa, Be ?”, tanya Renata. Babe adalah panggilan akrab kami ( anak – anak kelas 6 ) untuk Pak Haryono. Yah, terutama yang memanggilnya begitu anak muridnya sendiri, kelas 6d.
“Yaaa, pokoknya ikut aja lha ,,”, ujar Babe sambil melenggang pergi, sementara Nata dan Safika mengikuti di belakangnya.
Kami ( C2VL ) saling berpandangan. Kalau Nata dan Safika dipanggil berarti kan Mama sudah melaporkan mereka ke Babe.
“Coba periksa HP-mu, Vi.”, ujar Chira.
“Oke”. Aku segera menyalakan HP. Benar saja, Mama sudah membalas SMS-ku tadi yang berisi pertanyaan tentang laporan mama tentang Safika ke Babe.
Vi, Mama sudah datang dan melaporkan masalah Safika ke Pak Haryono tadi pas kamu istirahat. Ohya, mamanya Chira tadi juga datang.
“Iya, mamaku sudah datang ke Babe. Mamanya kamu juga sudah, Chir.”, laporku.
“Bagus !”, seru Lala. ”Biar tahu rasa mereka.”
“Ya sih .. tapi aku kasihan sama Nata, dia kan tidak salah apa - apa. Jangan sampai Nata dimarahin deh. Nata kan yang memberitahuku tentang si Safika itu. Kalau tidak ada Nata, mana bisa kita melaporkan Safika ? Ya kan ?”
“Iya juga sih … kalau dipikir – pikir kasihan Nata …”
“Pokoknya, sekarang aku mau bilang sama Babe, kalau Nata tidak boleh dimarahin ! Tapi pertama, aku mesti lihat dulu, keadaan di sana.”, seruku bersemangat.
“Bagaimana caranya, Vi ?”
Aku tidak menyahut. Kusambar simulasi UASBN IPA ku, lalu aku berjalan menuju lab IPA untuk menemui Babe.
Aku bahkan tidak mengetuk pintu saking penasarannya dengan suasana di dalam.
“Be !”, panggilku sambil melenggang masuk.
“Apaan ?”, sahut Babe. Aku dan Babe memang cukup akrab karena Babe sering membuat aku kesal dengan mengejekku, mengerjaiku, pokoknya gitu lha.
“Papila itu apa ?”, tanyaku. Aku sengaja bertanya mengenai simulasi IPA, agar tidak mencurigakan. Sementara itu, Safika hanya menatapku sinis.
“Ya ampun, kamu tuhh, sudah mau lulus, masa masih tidak tahu juga yang namanya papila ???”, kata Babe gemas.
“Nggak.”
“Tanya tuh sama Renata”, kata Babe.
“Apa Nat, jawabannya ?”, tanyaku basa – basi.
“Hm … C, kayaknya Vi ..”
“Kayaknya ? Duh … kamu juga ya Renata ! Sudah ah ! Belajar sono ! Gimana mau UASBN dapat nilai 100 kalau papila saja tidak tahu !! Tanya Jonathan saja sana, Vi !”, Babe mendorongku keluar.
“Ihh ,, Babe mah ! Ditanyain malah ngusir ! Malah nyuruh bertanya pada Jonathan lagi ! Suddah capek – capek jalan kesini ! Huhh !”, balasku sok sewot. Segera aku keluar dari lab IPA.
Walaupun kelihatannya aku sewot, sebenarnya aku puas karena sudah mengetahui yang aku inginkan.
“Bagaimana keadaan di dalam, Vi ? Kau berhasil masuk tidak ?”, tanya Catherine ketika aku sampai di kelas.
“Ya, Safika hanya menatapku sinis, sementara belum lima menit aku sudah diusir Babe. Tahu sendiri kan, tabiat Babe ? Malah menyuruhku bertanya ke Jonathan.”
“Apaan ? Kok aku disebut – sebut ?”, tanya Jonathan sambil menghampiri meja kami.
“Tidak ada apa – apa, kok. Sudah sana, jangan berharap bisa menguping pembicaraan kami !”
“Yee, siapa yang mau menguping.”, sahut Jonathan, lalu kembali ke mejanya.
“Sudah deh, kita kerjakan saja dulu soal simulasinya, daripada kena omel Babe nantinya. Oke ?”, ujarku.
“Oke”
Kami pun kembali mengerjakan soal dengan tekun. Sekitar pukul 10.30, Babe masuk ke dalam kelas.
“Sudah dulu mengerjakan latihannya. Istirahat. Siapa yang pimpin doa ?”
“Nomor urut 21 !”, seru Anas. Oya, aku belum cerita ya ? Anas merupakan seksi liturgi yang baru, jadi dia yang mengatur siapa yang memimpin doa.
Nata yang sudah kembali dari lab IPA, segera maju dan memimpin doa. Setelah itu, anak – anak dari kelasku segera berlarian dan berceceran di mana – mana. Ada yang ke toilet, jajan ke bawah, bermain di kelas, atau mengoborl di luar. Yah, boleh – boleh aja sih, kan sudah jam istirahat kedua. Tapi masalah ini belum selesai kayaknya !
Jumat, 14 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar