Senin, 14 Juni 2010

Chapter Fourteen _ Sesi Psikologi

Cerita tentang hari ini belum selesai. Seusai istirahat, aku dan Chira dipanggil Babe ke lab IPA. Pasti karena mama kami yang melapor, padahal anak – anak lain juga kesal terhadap Safika. Fine, aku tidak takut kok. Aku dan Chira akan mewakili anak – anak lain untuk membela diri di hadapan Babe.
Tapi ternyata ketika kami mau menghadap Babe, Babe dan beberapa guru lainnya dipanggil ke kantor Suster. Jadi, aku dan Chira berkesempatan bermain – main sedikit, mumpung Babe sedang tidak ada.
Lab IPA sudah lama digosipkan berhantu. Sebenarnya sih, Cuma gara – gara ada tengkorak yang gosipnya dari mayat betulan. Memang sih, Lab IPA besar dan gelap. Tapi tidak terlalu menakutkan menurutku.
Kebetulan Ines sedang mengerjakan remedial ulangan juga di Lab IPA. Dan sebelum pergi tadi, Babe menyuruh aku dan Chira menemaninya di Lab IPA. Sepertinya lumayan mengerjainya sedikit, kan Babe sedang tidak ada.
“Nes, aku mau ke toilet dulu ya, tidak apa – apa kan, kutinggal sebentar bersama Chira ?”, ujarku pada Ines.
“Iya .. tidak apa – apa kok .. tapi Chira di sini yah, menemani aku. Soalnya gelap Vi ! Aku takut sendirian.”
“Sip deh. Iya kan Chira ?”
“Yup ,,”
Walaupun kubilang Chira takkan ikut, tapi seperti biasanya, agak sulit untuk menepati janji semacam itu. Jadi, bukan hanya aku yang keluar tetapi Chira juga. Dan kami buru – buru menutup pintu Lab IPA dari luar.
“Viana !! Chira !! Buka dong !! Gelap tahu !! Vi !!”, Ines berteriak – teriak dari dalam.
Aku dan Chira hanya tertawa.
“Bentar Nes, pintunya macet !!”, seruku. Padahal, sebenarnya tidak sih. Justru aku semakin mengencangkan tarikanku terhadap gagang pintu.
Sementara itu, Chira memperparah. Dia menutup teralis besi yang membuat Lab IPA terkadang seperti kandang ayam minimalis. Setelah itu, aku Chira buru – buru kabur.
“Bentar ya Nes, aku cari bantuan dulu, pintunya macet, sama sekali tidak bisa dibuka !”, padahal peryataanku itu sangat JAUH dari kenyataannya.
Chira cekikikan. “Ya ampun Vi, si Ines mau saja sih dibohongin kita.”
Aku tertawa lepas,”Memang tuh, si Ines, mudah sekali dibohongin.”
“Eh Vi, lomba ngesot yuk ! Finishnya di depan pintu kelas saja”.
“Ayo !”
Tak lama kemudian, kami segera berubah menjadi Suster Chira dan Suster Viana Ngesot.
Anak – anak cowok menertawakan kami lewat kaca di pintu tapi kami sama sekali tidak peduli.
Namun, Chira berubah licik ( dramatis sekali, padahal ini hanya urusan ngesot – ngesot-an, hahaha XD ). Di tengah jalan dia berlari menuju pintu dan hasilnya : aku terkurung di luar kelas sendirian, dan tampaknya tak ada SEORANG pun yang tergerak hatinya untuk membukakan pintu untukku.
Aku hanya menggedor – gedor pintu walaupun aku tahu tidak akan ada hasilnya karna cowok – cowok yang badannya besar – besar itu menahan pintu dengan segenap kekuatan mereka hanya untuk menjahiliku. Sementara itu, rok ku betul – betul kotor sekali karena aku ngesot – ngesot tadi.
Dengan keadaan yang serba minim, sepertinya kondisi ini cocok untuk mendramatisir.
“Inikah yang disebut karma ? Gara – gara aku menjahili Ines, kalian jadi setega ini padaku ? Apa salahku ? Aku hanya gadis kecil yang tidak berdosa ..”, ratapku di luar pintu. Sebetulnya aku agak geli juga bertingkah seperti itu, tapi tidak apa – apa, suatu saat pasti aku akan mendapatkan gelar Miss Dramatic.
“Tidak usah berlebihan begitu deh, Vi !”, Catherine ngakak dibalik pintu sementara anak – anak cowok tertawa menontonku.
“Makanya bukain pintunya ! Di sini panas tahu !”, balasku sambil terduduk putus asa di depan pintu.
Tiba – tiba Pak Rito lewat. Waduh, gawat nih. Bisa – bisa aku kena damprat karena bertingkah seperti gembel.
Tak tahunya, Pak Rito malah ikut tertawa melihatku. “Sedang apa kau di sini, Vi ?”
Langsung aku mengadu,”Tuh, aku dikunciin Pak !”
Tapi itupun tak menolong, Pak Rito hanya tertawa sambil berlalu.
“Kasihan deh ,, Viana ,, ngemis – ngemis sama Pak Rito tidak ditolongin juga .. Buwee ..”, ledek Nata dari dalam.
“Ih .. kita tidak menerima suster ngesot Vi !”, ledek Gerry, sambil cekikikan.
“Berisik !!”
“Nyebur ke got ya Vi ? Kok roknya kotor begitu ?”
“Diam !!!”
“Matinya kenapa, mbak suster ?”
“Norak kau !!”
Habislah aku, karna diledekin satu kelas.
Aku berjalan menuju tangga, dan melihat ke bawah. Ternyata Babe sedang melangkah menuju tangga, hendak naik ke atas. Buru-buru aku berlari dan menggedor pintu kelas, untuk memanggil Chira.
“Chir, Chir ! Babe udah mau naik. Buruan keluar ! Kita kan masi ngurung Ines di lab IPA ! Cepet ! Ntar kita dimarahin !”, teriakku dari balik pintu.
Chira mendekat ke pintu, namun belum membukanya. “Beneran ? Atau kau cuma bohong biar dibukakan pintu ?”
Aku merengut sambil mengacungkan jari telunjuk dari jari tengahku ke atas, membentuk huruf “V”. “Beneran. Suer. Kalo mau dimarain, gapapa juga sih ga keluar.”
“Iya , iya, aku keluar.”, Begitu Chira keluar, aku langsung menyambarnya dan menyeretnya menuju lab IPA.
Baru saja kami membuka teralis besi lab IPA, Babe sudah sampai di atas dan memergoki kami.
“Heh, lagi ngapain kalian ?”, tanya Babe curiga.
“Eh, itu, tadi teralis nya kesenggol Be, jadi ketutup, eh, baru dibuka gitu, hehe.”, Chira terkekeh gugup.
“Trus mana Ines ?”, tanya Babe lagi.
“Ya, di dalam lah Be. Emang dia jalan-jalan ke mana-mana nyari contekan.”, jawabku.
Babe mencibir. “Udah sono, masuk, temenin si Ines, bentar lagi gue masuk.”
Aku dan Chira berpandangan. “Gue?”
“Iya, kan biar gaul geto.”, sahut Babe sambil berjalan ke ruang guru.
Aku dan Chira geleng-geleng kepala, melihat gaya guru kami yang sok gaul itu. Lalu kami berjalan masuk ke dalam lab IPA, dan duduk di meja kedua dari pintu.
“Lho ? Udah ga macet ya pintunya ?”, tanya Ines saat kami masuk.
“Udah. Tadi udah dibetulin sama Pak Joko. “, jawabku ngasal. Pak Joko adalah salah satu penjaga sekolah kami. Tapi tetap saja aku cuma bohong, orang tadi aku yang ngunciin kok.
“Kok ga kedengeran bunyinya pas dibetulin ?”, tanya Ines keheranan.
“Gatau deh. Canggih kali Pak Joko nya.”
Ines menatap kami skeptis, namun kemudian kembali menekuni pekerjaannya. Sementara itu, aku dan Chira menunggu dengan bĂȘte di meja kami.
Lima belas menit kemudian, Babe masuk.
“Lama bener.”, kata Chira. “Babe abis kemana sih ?”
“Biasalah, orang sibuk. Syuting film, iklan, banyak deh .”, sahut Babe.
“Beh, ngayal nya jauh bener Be. Bukannya kata Babe dulu mantan kuli ?”, ujarku, ngasal lagi.
“Oh, iya.”, Babe ngeladenin, tapi sambil bercanda. Setahuku sih, Babe belum pernah jadi kuli bangunan. Ga tahu deh aslinya. “Dulu pas gue masi kerja di toko bangunan, jadi kuli, sering nyusun bata sama ngaduk semen tuh. Capek banget.”
“Enak jadi guru dong, Be ?”
“Ya iyalah ! Tapi capek ketemu anak-anak kaya kalian nih, bikin puyeng, yeng, yengg !! Mending balik ke profesi lama deh.”
Aku dan Chira cekikikan. “Ya udah, Be, balik aja jadi kuli.”
“Ga, mesti nyelesain masalah kalian dulu, kan. Udah buruan diam, biar bisa cepet selesainya, abis itu kalian damai deh sama Safika.”
Aku menyadari wajahkuku berubah kaku. Tawa ku lenyap seketika itu juga. “Safika ?”
“Iya, Safika. Sama Renata juga.”
“Babe emang ngomong apa saja tadi sama mereka berdua ?”, cecar Chira.
“Banyak. Gini lho, Vi, Chir, kayaknya kalian berantem gara-gara salah paham deh. Sebenarnya mungkin masalahnya sepele. Ga usah jadi berantem serius begini.”
“Bilang lah gitu sama Safika, Be !”, jawabku, sewot. “Kalaupun salah paham, bukan aku, Chira atau yang lainnya yang salah paham, tapi Safika sendiri. Selama ini aku nggak pernah macem-macem sama dia, jadi aku tadinya baik – baik aja. Sebelumnya juga Safika kelihatannya baik-baik aja di depanku. Tapi kadang-kadang dia suka aneh sendiri. Suka sinis. Suka ngatain di belakang. Kayaknya dia benci banget sama aku. Buktinya, dia aja minta foto aku buat dibakar. Tuh anak pasti ada kelainan jiwa !”
“Bener tuh Be !”, Chira mendukungku. “Babe gatau sih, betapa anehnya Safika. Masa dia suka ngomong sama tanaman ? Udah gitu, katanya dia bisa melihat ke dalam tubuh orang, dan ngomong sama organ-organ tubuhnya. Kemarin dia ngomong sama ginjalnya Catherine ! Gila dia !”
“Eh?”, kata Babe. “Data Safika yang ada di sekolah ga menjelaskan tentang pengalaman dirawat di rumah sakit jiwa tuh.”
Aku memutar bola mata. “Pemalsuan data, kali.”
Di tengah-tengah kemarahan aku dan Chira, Ines menghampiri meja kami. “Be, ini udah selesai. Di taruh mana ?”
“Taruh aja di meja saya di ruang guru.”
Aku merengut dan berbisik pada Chira. “Ines mah, orang kita udah keren-keren marahnya, udah sewot, ehhh, jadinya ancur. Kacau deh.”
“Tau tuh. Padahal kan susah gaya kaya gitu.”
Setelah Ines keluar, Babe berpaling lagi pada kami. “Nah ? Jadi, sampai mana tadi ?”
“Itu, kucing terbang.”
“Ish.. serius oneng ! Tadi sampai mana ngomongnya ? Lupa.”
“Kucingnya terbang .. wush wush .. jatoh .. gubrakk.”
“Sampai Safika.”, Chira membetulkan.
“Safika nya sampai di mana ?”
“Safika nya aneh – aneh.”
“Ah ya.”, ingatan Babe sudah pulih kelihatannya. “Si Safika itu, sebenernya pengen temenan sama kalian, tapi dia merasa dikucilkan.”
“Emang siapa yang mau temenan sama dia ?!”, jawabku dan Chira kompakan dengan berapi – api.
“Eh, eh, tenang dong. Jahat banget kalian.”
“Abis dianya juga sih. Kita kan ga mau temenan sama orang yang sakit jiwa. Apalagi dia benci sama kita. Ngapain coba kita temenan sama dia ? Ya kan Vi ?”
“Bener banget.”
“Ihh, denger dulu.”, Babe mengetuk meja. “Kalian mestinya bersyukur. Kalian itu kan lebih punya banyak temen. Lebih pandai bergaul. Lebih beruntung lah pokoknya. Mestinya, kalian itu berteman. Lagian kan, bentar lagi kalian mau berpisah. Baikan saja lah. Ga usah berantem-berantem gitu. Siapa juga yang rugi kalau berantem begini ? Kalian – kalian juga kan.”
Chira tercenung. Tapi aku tetap ngeyel.
“Begini lho Be, awalnya aku juga mau aja temenan sama dia. Tapi kan dia suka aneh. Aku jadinya males. Dia nya aja, dikit – dikit, nangis. Dikit-dikit, marah. Dikit-dikit, mukul. Ga bisa diajak bercanda. Aneh ! Babe tanyain aja sono satu-satu anak-anak di kelas, menurut mereka Safika gimana. Pasti ada yang bilang gila, ga asik, ga seru, pemarah, stress, gitu-gitu lah..”
“Ya, gimana yah, dia juga banyak tekanan di keluarganya, ya, sama papa-mamanya, dan lain-lain.. Dia ga seberuntung kalian. Itu membawa pengaruh juga ke pergaulan dia di sekolah. Tadi dia juga nangis-nangis di sini pas saya tanyain. Dia bilang dia dikucilkan sama kalian. ”
Aku mencibir, ga pengen tahu. “Tuh kan ! Cengeng . Dia kalau di depan Babe nangis-nangis. Nanti di belakang ngata-ngatain. Dikit-dikit, nangis. Bener kan apa kataku.”
“Mungkin karena tekanan di keluarganya itu Vi. Dia jadi agak sensitif. Mentalnya memang ga sekuat mental kamu. Kamu kan, punya banyak temen, yang bisa menghibur kamu, yang jadi temen main. Lagian kan, kamu emang tipe orang ceria. Haha-hihi mulu tiap hari. Mestinya, kamu bisa jadi temen yang baik buat Safika. Viana yang punya segudang lelucon. Viana yang percaya diri. Chira yang perhatian. Chira yang care. Catherine yang ketawa- ketawa terus. Catherine yang suka becanda. Lala yang tomboy. Lala yang punya banyak permainan. Geng kalian yang ramai. Seharusnya bisa jadi sahabat yang baik untuk dia.”
“Aku punya segudang lelucon. Ih, waw. Aku percaya diri ya ? Double waw.” gumamku. “Tapi benar juga sih. “
Babe tertawa. “Kamu itu, bukannya direnungi kata-kata saya yang barusan, malah mikirin yang lain. Dasar anak sedeng.”
“Enak aja sedeng. Keren tau. Kita kan istimewa gitu.”
Chira ikut tertawa. “Viana..Viana.. Aku dari tadi merenung, kamu malah mikirin yang lain, hahahaha.”
Aku nyengir, lalu kembali bicara pada Babe. “Apa bener Be, aku bisa sahabatan sama dia ? Maksudku, emang sih, aku keren, tapi apa Safika ga membenci aku ? Aku heran deh, udah aku keren gini, tapi dia-“.
“Dasar narsis !!”, kata Babe. “Mungkin sih, tapi dia bilang kalau dia benci kamu karna kamu benci dia.”
Aku mengernyit. “Salah Be, tapi dia benci aku karena ada apa-apanya, mungkin sesuatu yang tidak-dia-sebutkan-tadi. Aku benci dia, karna dia benci aku. Gitu yang bener.”
Chira mendukung. “Iya Be, dia benci kita, kita juga benci dia. Jadi kita benci dia, karna dia benci kita.”
“Gimana ? Kita benci dia ? Dia benci kita karna dia benci kita ? Dia benci dia ? Tau lah ! Terserah kalian saja. Emang menurut kalian, dia benci kalian kenapa ?”
Aku dan Chira menggeleng. Tapi tiba-tiba aku teringat. “Untuk jelasnya sih aku kurang tau. Tapi menurut Nata, mungkin dia iri sama kita – kita.”
“Iri ? Iri nya kenapa ?”
Aku menggeleng lagi, namun kujawab, “Entahlah. Mungkin … yah … karena aku keren, lucu, imut – imut gimanaaa gitu, atau-“
“Mulai deh, narsisnya muncul lagi. Kumat.”, kata Babe.
Aku dan Chira cekakak-cekikik sendiri.
“Apa yang dikatakan Viana itu sebenarnya ada benarnya Be , emang kenyataannya gitu sih…”, tambah Chira.
“Yaudah, terserah lah, tapi saya cuma ngasi tau aja, sebaiknya kalian segera baikan sama dia, supaya masing-masing pihak juga enak. Semuanya diuntungkan. Lagipula kan sekarang sudah mau ujian, jangan sampai masalah ini menganggu pikiran kalian. Semuanya biar di bawa santai ajalah. Kalau banyak masalah juga ga bagus buat kesehatan kalian.”
“Bentar lagi pasti mulai ngomongin stroke, serangan jantung, dan lain-lain nih. Be, sadar, Be, Babe udah mulai kayak psikolog, pasti nanti juga mau ngomongin soal emosional, kejiwaan, dan masalah yang biasa di omongin di tempat psikolog. Jangan sampai, nanti Babe juga mulai bilang, tatap .. mata saya”, gerutuku, sambil bercanda.
Kami bertiga tertawa.
“Kalau buat kalian, mah , bukan psikolog lagi, tapi psikiater !”, cetus Babe.
Chira protes, “Psikiater kan, buat orang gila !”
“Yaa, kenyataannya memang begitu kan ?”
“Babe, Babe, buka aja Be, tempat praktek sendiri. Haryono, spesialis kejiwaan, open 24 hour, bwahahahah.”, aku ngakak.
“Hahahahahhaha.” Lab IPA langsung penuh dengan suara tawa dua orang murid gila, dan seorang guru yang punya pekerjaan sampingan sebagai psikolog, atau psikiater, atau apalah namanya.
“Udah, udah , malah nyeleweng ke mana-mana omongannya.”. kata Babe. “Pokoknya, saya akan ngasi waktu beberapa hari, buat kalian berpikir, bagaimana baiknya persoalan kalian ini diselesaikan. Kalau perlu kalian akan saya damaikan. Pikirkan saja dulu, enaknya gimana. Nanti kalau sudah, bilang, oke.”
Aku bertingkah seolah-olah sedang menerawang , berpikir. “Boleh aja sih Be, aku mau aja damai, tapi jangan pakai salam-salaman tangan ya ? Norak tau Be. Kayak anak kelas satu aja.”
“Iya iya, terserah kalian deh. Ya sudah, pulang gih sono, sudah mau doa pulang tuh. Balik ke kelas. Ingat, pikirkan baik-baik ya.”
“Oke.”
Aku dan Chira pun keluar dari lab IPA.
“Eh, Vi..”, ujar Chira ketika kami sudah di luar. Dia berhenti berjalan ketika berada tepat di depan kelas. “Kamu mau ga temenan lagi sama Safika ?”
Aku menghela napas. “Mau-mau saja sih. Tapi … gimana ya ? Aku masih agak kesel sama dia. Aku heran saja, perasaan aku selalu bersikap baik sama dia, tapi dia selalu jahat sama aku. Coba deh, dibandingkan sama anggota C2VL yang lain, dia paling sensitif sama aku kan ? Di mata dia, semua yang aku lakukan salah. Dia kayaknya membenci aku lebih daripada apapun di dunia ini.”
“Yah , bener juga sih. Cuma dia emang rada nyolot gitu dari dulu Vi. Sukaa…yaa…membenci orang tanpa alasan yang jelas.”
“Jaa…di… ? Mau damai kan yah ? Aku… juga masih…bimbang sih. Tapi bener juga kata Babe, kita musuhan kaya gini ga ada untungnya. Aku…mau baikan saja deh. Sekaligus, nanti aku mau nanya, kenapa selama ini kayaknya dia benci banget padaku.”
“Beneran ?”
“Iya.”
“Serius?”
“Dua rius malah.”
Tanpa menunggu jawaban Chira lagi, aku masuk ke dalam kelas. Aku mendekati Safika.
“Saf.”, aku menepuk pundaknya. “Boleh … aku bicara sebentar ?”
Safika menatapku sinis. Namun ia menjawab , “Boleh . Mau bicara apa ?”
“Di luar saja.”, kutarik tangannya keluar.
“Be- begini. Aku… mau minta maaf. Maaf kalau selama ini aku sering membuatmu membenciku. Maaf kalau aku suka ngeselin. Tapi , aku sebenarnya ga bermaksud, cuma .. kau tahu kan Saf, aku emang orangnya kaya gini, suka … mungkin … ngelakuin hal- hal yang ga kau sukai. Maaf ya Saf. Aku mau … baikan.”
Dia menarik napas panjang. Kukira dia akan tersenyum, dan berkata hal – hal menyenangkan seperti ‘Ya, aku memaafkanmu. Kita sahabatan lagi ya ?’, atau ‘Baiklah, aku juga minta maaf. Aku memaafkanmu kok. Lagipula aku juga yang salah. Aku harap kita bisa berteman lagi.’ Dan seterusnya. Tapi dia malah berkata, “Ngapain kita baikan ? Bukannya kau membenciku ? Memang kau diceramahin apa sama Babe ?”
Mukaku memanas. “Aku ga diceramahin apa-apa sama Babe. Aku cuma sadar aja, ga ada gunanya kita musuhan kayak gini.”
“Nyadar ya ? Bagus . Suruh siapa bertingkah kaya Ratu Sejagad begitu ? Kau merebut semuanya dariku. Gara-gara kau, aku dikucilkan.”, Safika melenggang masuk ke dalam kelas, membuka tasnya dan mengambil tisu. Lalu ia mengelap matanya yang mulai basah.
Ihh !! Nyolot nyolot nyolot !! Sudah bagus aku minta maaf. Dasar ga tau diri, batinku kesal dalam hati. Tapi aku rasa aku masih mampu untuk tidak marah. Kalau aku sudah marah, bisa gawat jadinya. “Emang aku ngapain sih ? Emangnya aku bagiin selebaran pada semuanya ‘Mari Kita Jauhi Safika ”. Nggak kan ? Selama ini aku selalu baik padamu. Malah, aku selalu lebih ramah daripada, Catherine yang bercandanya suka kelewatan, Lala yang suka ngata-ngatain orang. Aku pernah mengataimu ? Nggak. Aku pernah meledekmu ? Nggak juga kan ? Aku salah apa ? Selama ini justru kau yang membuatku bingung ! Kau yang memusuhiku !”
Safika menangis sesenggukan. “Tapi-tapi, kau kan yang menghasut semuanya supaya pada memusuhiku ? Kau yang merenggut semuanya dari aku !”
Tak terasa, air mataku meleleh juga. Tapi aku tidak peduli. Ini saatnya aku membela diri. Ini saatnya mengungkapkan apa yang selama ini kami pendam. Jadi, aku terus melawan perkataan-perkataannya yang selama ini tidak pernah aku lakukan. “Eh, asal kau tahu ya, aku ga pernah SEKALIPUN menghasut teman-teman untuk memusuhimu ! Kau tuh dapat berita darimana sih kayak gitu ? Justru sekarang jadi kau sendiri yang memfitnahku !”
Sepertinya tangisan kami cukup mendatangkan tamu-tak-diundang ke dalam kelas. Aku mendengar banyak anak kelas lain berdatangan dan berbisik-bisik ataupun bertanya tanya. ‘Ada apa sih?’, ‘Pada kenapa sih?’, dan berbagai pertanyaan tak berguna lainnya. Semestinya aku mengusap air mataku dan menyuruh mereka semua keluar, tidak usah menonton kami bertengkar. Tapi aku betul-betul sedang tak terkendali. Untuk mengatakan beberapa kata untuk mengusir saja rasanya aku tak sanggup. Napasku tersendat-sendat. Aku sulit berkata-kata karena sedang menangis sesenggukan.
“Ya, tapi-kan kalau bukan kau, s-siapa lagi ?”
Rasanya darahku mendidih mendengar pertanyaan sebodoh itu. Masa, selama ini dia cuma asal nuduh aku sih ?
“Ya pokoknya bukan aku lah ! Emang apa sih yang bikin kau berprasangka kayak gitu padaku ? Aku salah apa ? Hah ?”, tanyaku gusar.
Safika tidak bisa menjawab lagi. Dia hanya terus menangis tanpa henti. Sementara aku, dengan wajah kemerahan, sibuk mengelap air mataku yang meleleh di pipi.
“A-aku .. aku juga .. aku ga bermaksud. A-aku cuma .. aku kira … k-kau .. kau yang ..”, Safika membuat satu kalimat terasa membutuhkan satu juta tahun untuk didengarkan.
“Ya, ya, aku tahu.”, aku menyelanya, walaupun aku tahu Mama tidak akan menyukai hal tersebut kalau dia ada di situ. ”Kau kira, aku yang menghasut teman-teman buat menjauhimu. Kau pikir popularitasmu turun 100%, ya? Kau pikir semua orang menjauhimu. Gara-gara aku. Walaupun aku nggak tahu sebenarnya apa yang aku perbuat. Oke, aku dapat peran lumayan penting di kelas. Aku punya teman-teman yang menurutku terbaik. Aku punya hal yang normal kan ? Kenapa harus aku yang kau benci ? Kau membenciku lebih daripada apapun , ya ? Jadi ? Kau sudah ngambil keputusan ? Aku mau kau apakan lagi ?”
“A-aku .. sudah jahat. Sepertinya jauh daripada yang aku pikirkan selama ini. Maaf.”
Aku menghela napas. Sepertinya ? SEPERTINYA ? Rasanya aku ingin membenamkan mukaku ke dalam toilet. Sudah jelas memang dia melakukannya, hal yang buruk, dan bukan sepertinya lagi dong ? Untung aku masih punya hati. Dan otak.
“Ya. Aku juga. Aku minta maaf. Aku sudah menyudutkanmu. Aku h-hampir .. yah .. aku juga hampir kehilangan kesabaran gara-gara masalah ini. Jadi .. menurutmu .. sebaiknya habis ini kita .. baikan ?”, ujarku. Bego. Aku mulai terdengar seperti murid taman kanak-kanak. Tapi aku bersyukur apa yang keluar dari mulutku ga semengerikan yang aku pikirkan. Dan untungnya, aku nggak bilang ‘aku hampir saja menamparmu barusan’.
“Menurutmu ?”
“Menurutku ? Baikan adalah kata pertama yang kupikirkan sejak masuk kelas tadi. Dan damai.”
Safika mengulurkan tangannya sambil tertawa gugup. “Baikan ? Damai ? Deal or no deal ?”
Aku tersenyum letih, sambil menjabat tangannya. “Deal.”
Tepuk tangan kecil – kecilan menggema di seluruh kelas. Dan tawa gembira. Lalu, dua detik kemudian, aku baru menyadari bahwa Nata merekam semua perdebatan, dan sesi tangis-menangis itu juga, ke dalam kamera video di handphonenya.
Oh, tidak, kataku pada diriku sendiri. Bertindak, Viana. Kau pasti ga mau video-mu disebarkan lewat Facebook,-dan mendapat ratusan comment dari semua orang. Kau akan jadi artis dadakan, dalam film dramatis yang cengeng. Kau takkan suka itu.
“Oke, oke. Pertunjukkan selesai ! Terima kasih sudah datang berkunjung hari ini. Silahkan datang lagi- silahkan datang beberapa abad lagi. Silahkan. Pintu keluar di sebelah sana.”, aku membubarkan penonton.
Setelah sepi ( bahkan Safika juga sudah pulang ), aku tinggal membereskan Nata, yang sedang asyik memainkan handphonenya.
“Hapus, cepat !”
“Hapus apa ?”
Aku memlemparkan tatapan tenang-namun-mengancam milikku yang termashyur padanya. “Jangan pura-pura bego deh. Aku tahu kau merekam semuanya ke dalam video.”
“Ga ada video apapun kok.”
Kulemparkan tatapanku sekali lagi.
Nata meringis. “Oke, aku hapus. Dan hentikan tatapanmu itu. Setidaknya, singkirkan.”
Aku menaikkan alis. “Jadi ? Kau mau tatapan seperti apa ?”
Nata tertawa. “Tatapan gembira. Senyum. Tunjukkan wujud aslimu, nona. Tidak usah sok mengancam begitu.”
“Begini ?”, aku melebarkan mataku yang masih sembap, maksudku setengah sembap, dan tersenyum senang dibuat-buat. Dan, akibatnya, beberapa detik setelahnya, aku dan Nata tertawa terbahak-bahak.
“Bukan-bukan begitu.”, kata Nata disela-sela tawanya. “Aku tahu cara membuatmu gembira.”
“Apa ? Ditraktir makan ? Itu sih ga usah diberitahu lagi !”
“Bukan, Sok Tahu.”, kata Nata, dan aku mencolek pipinya pelan.
“Lalu ?”
“Kau mau lagu Justin Bieber, Eenie Meenie ? Atau segudang lagu lainnya ? Aku bisa kirim, gratis.”
Aku tersenyum bersemangat. “Mau !”
Dan, begitulah. Kau, semuanya, yang membaca bagian ini, bisa menambahkan hal tersebut dalam ’10 Hal Kesukaan Viana’, kalau kau berminat. Yah, siapa tahu, itu juga bisa membuatmu tersenyum gembira sepertiku, ya kan ?


SEDIKIT TAMBAHAN, PLUS PLUS +++ DARI VIANA :

Ya ampun, aku harus mengucapkan sambutan apa lagi ? Oh. Bukan sambutan. Oke. Itu mudah.
Yap, pertama-tama, aku mau bilang, setelah kejadian ini, kasusku, maksudku, kami, yang berhubungan dengan Safika, ditutup. Kami jadi cukup akrab setelahnya. Kuulang sekali lagi, kubilang, kami. Ya, C2VL, Nata dan Safika. Lala punya usul bodoh yang mengerikan, yaitu, Nata dan Safika akan ditambahkan menjadi anggota C2VL. Mendengar hal tersebut, Chira merengut, Catherine memutar bola mata, dan aku menatapnya seolah-olah dia gila. Lalu aku menanggapinya, “Kau sinting ya ? Kau mau nama geng kita jadi “C2VLNS”?”, dan setelah itu, dia tidak pernah berusaha mengingatkanku akan usulnya. Boleh dibilang, itu bagus. Nama geng kami tetap C2VL tapi C2VL berteman dekat dengan dua orang lagi. Happily Ever After ? Mungkin aku harus mencari sebutan lain yang lebih pantas. Karena kalau tidak, aku yakin suatu saat akan ada yang bertanya, “Siapa yang menikah ?”.
Kulanjutkan ya. Sebenarnya, aku punya alasan lain yang membuatku menampilkan ‘Tatapan Gembira’ atau ‘Senyum Puas’ atau ‘Senyum Bersemangat’, atau apa sajalah. Bukan karena lagu Justin Bieber saja ( tapi itu tetap dimasukkan ke dalam daftar ’10 Hal Kesukaan Viana ), tapi ada hal lain. Yang pertama, aku lega tidak punya musuh lagi di kelas. Yang kedua, aku senang karena semuanya (C2VL), bisa menerima Nata dan Safika dengan baik. Dengan kedua hal ini, aku tidak usah khawatir diapa-apakan lagi oleh Safika, karna bagiku, kini segalanya sudah menjadi normal. Menyenangkan bukan ?
Ketiga, aku tidak melihat ada video- video tentang perselisihan ku dengan Safika, bahkan satupun juga tidak ada, di mana pun aku mencarinya. Di Facebook, di kalangan anak-anak sekolah, atau semuanya. Artinya, tidak ada makhluk lain (kecuali Nata), yang memanggilku untuk menghajar mereka (sadis sekali). Dan Nata juga sudah menghapus video tersebut, jadi, aku aman.
Keempat, aku senang dengan semua yang terjadi di sekelilingku. Aku senang dengan ketiga hal di atas. Kau tahu kan ? Setiap ada kesenangan, pasti ada senyuman. Dan itulah yang memang terjadi.
Kau mengerti maksudku. Tidak ? Oh, aku salah dengar barusan. Kau bilang ‘aku mengerti kok’. Baiklah. Aku selesaikan bagian ini sekarang. Chapter 14, SELESAI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar