“Lihat deh apa yang kubawa”, ujar Catherine pada aku, Lala, dan Chira.
Kami bertiga menengok ke arahnya. Dan kami melihat apa yang dia bawa, 4 kartu cantik bertuliskan ‘C2VL’ yang sudah dilaminating.
“Apa kau yang membuatnya ?”, tanyaku.
“Yes, of course.” Catherine tersenyum bangga.
“Hebat sekali. Aku menyukainya. Andai aku boleh mengambil sebuah.”
Chira dan Lala pasang muka setuju.
Catherine tertawa, “Ambilah, itu memang untuk kita”
Aku, Chira, dan Lala saling memandang dan ikut tertawa. Kami tos dengan kartu masing – masing dan tos pakai punggung telapak tangan kami sebanyak 3x sambil mengucapkan ‘ah’ 3x dengan intonasi sempurna dan menjentikkan jari kami . Itu tos kami.
“Nomor urut 11, pimpin doa !!! Ayo,kalian mau istirahat tidak ?”, seru Jonathan. Dia seksi liturgi. Aku sering bertengkar dengannya. Kadang dia bisa jadi baik tapi dia lebih sering cari masalah. Itu karena dia terus-terusan bertingkah menyebalkan.
“Itu kau.”, ujarku.
“Oh iya, aku lupa”, katanya sambil terkekeh lalu dia berjalan kecil ke depan kelas.
“Aaahhh !!!”
Kami menarik napas panjang setelah 3 jam berada di dalam kelas. Kau butuh itu saat keluar dari 6D, karena di dalam kelas dingin sekali. Udara di luar juga dingin sih. Terutama anginnya. Tapi itu jauh lebih baik daripada terus menerus menghirup udara AC sampai kau jadi beku. Kadang aku membayangkan bagaimana jika aku tidak mengenakan jaket, mungkin aku akan mati kedinginan.
“Ayo jajan, nanti keburu bel masuk lho”, ajak Lala bersemangat.
“Kita akan jajan, La. Kau tahu kita semua kelaparan, dan tubuh kita sedingin es.”, kata Chira.
“Ya tentu, aku tahu”, kata Lala, dan dia nyengir seperti kuda.
Kami barjalan beriringan. Kiri, kanan, kiri, kanan. Langkah kami berempat begitu keras, berderap menuruni tangga dari lantai 3.
“Nah, siapa yang akan jajan di kantin lama ?”, tanyaku ketika sampai di bawah.
“Itu aku, trima kasih”, Catherine tertawa cekikikan.
Chira menjulingkan matanya. “Aku akan ikut Catherine. Aku kepingin nasi ayam katsu.
Aku dan Lala saling mencubit. Itu tanda agar kami berbicara kompak. “Kalau begitu, kami ke kantin baru.”, ucap aku dan Lala bersamaan.
Kami berempat tertawa bersamaan.
“Kalau begitu, kami berdua akan menyusul kalian ke sana”, ujar Chira dan Catherine. Mereka bisa berbicara bersamaan karena mereka juga saling mencubit.
“Mbak iyo !!! Aku pesan nasi ayam kremes yah !”, teriak Lala dari depan toko ketika kami sampai di kantin baru.
Mbak iyo mondar-mandir dan berseru juga “Iyo, tunggu ya !”. Itu adalah alasan mengapa anak anak di sekolah memanggilnya begitu, karena mbak iyo selalu mengucapkan kata “iyo” untuk mengiyakan.
“Nah, kalau begitu beres.”, Lala tertawa.”Ayo, kau mau makan apa?”
Aku memiringkan kepala dan menatap satu persatu tempat jual makanan di kantin.
“Mungkin aku akan makan Nasi Ayam Karamel.”
“Aku akan menunggumu di stand Mbak Iyo, oke ?”
Aku mendekati stand nasi ayam dan memesan satu porsi nasi ayam caramel. Di sana agak sesak, dan ada grupnya cowok-cowok kelas 6. Grup itu bernama Brandboyz, mereka suka bergaya sok keren tapi menurutku biasa-biasa saja. Mereka juga suka bergerombol, seperti monyet.
Aku tidak mau C2VL jadi seperti itu. Aku ingin kami bersahabat dan tidak bersikap berlebihan, tapi sepertinya aku akan suka kami jadi istimewa. Itu berarti kami harus memiliki sesuatu keunggulan yang bisa dipublikasikan.
Setelah membeli makanan, aku menyusul Lala di tempat Mbak Iyo.
Ia sudah melahap nasi ayam kremesnya. Ia selalu kesulitan membuka plastik kecap, tapi sepertinya kali ini ia berhasil.
“Kapan kau akan berhenti makan nasi ayam kremes La?”, tanya Catherine keheranan, saat kami semua telah berkumpul kembali.
“Kau makan nasi ayam itu hampir setiap hari di sekolah”, timpal Chira.
“Aku makan sate kalau sedang ada bazaar”, bantah Lala.
“Saat bazaar dan hari biasa akan lain ceritanya”, jelasku.
“Yahh karena aku suka…”, Lala nyengir. “Lihatlah kalian juga makan nasi ayam. Bahkan kemarin Catherine dan Viana juga membeli ayam caramel. “
Kami memandangi diri kami dan makanan kami. Dia benar juga. Sekarang kami semua sedang makan nasi ayam walaupun masing – masing berbeda jenisnya.
“Tapi kami tidak makan setiap hari, kami hanya sering”, giliranku yg membantah sekarang.
“Tetap saja”
Kami berempat saling pandang dan tertawa.
“Mungkin kau benar”, ujar Chira.
“Memang, hahaha...”, jawab Lala sambil tertawa lebar.
Kami semua cekikikan terus terus dan terus sampai sulit menelan nasi ayam.
Kurasa aku tidak keberatan makan nasi ayam dalam jangka waktu panjang sampai aku belum mulai berkotek. Tok, tok, tok, Petok !!!
Kamis, 06 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar