Jumat, 14 Mei 2010

Chapter Thirteen _ Konflik Safika

Pagi – pagi Safika sudah membuatku bête, deh. Pas masuk,dia langsung menatapku tajam. Duh, kaya apaan aja sih !! Dia melihatku seakan – akan aku seorang penyelundup yang lagi dia mata – matai. Ya sudah, aku buru – buru saja kabur ke bangku belakang, duduk dan meletakkan ranselku yang membuat badan pegel – pegel saking beratnya. Di situ sudah ada Chira dan Lala. Langsung aku suruh mereka mendekat, karena aku sudah tidak sabar untuk membicarakan tentang Safika dan aku tidak mau Safika mendengarnya.
“Chira, sini deh. Aku ada informasi baru tentang Safika.”, kupanggil Chira.
“Jadi, aku tidak dipanggil nih ? Jahat ya, Viana.”, Lala pura – pura merengut.
“Aduh,sori – sori, bukan begitu, La. Kelupaan. Sebenarnya mau mengatakan ‘Chira, Lala, sini deh’. Cuma kelewatan gara – gara terlalu bersemangat. Hehe”, jelasku sambil nyengir. “Peace, Lala !”
“Ya sudah deh,ngga apa - apa, aku juga cuma becanda kok, hahaha.”, sahut Lala sambil tertawa. “To the point, memang kau punya informasi apa ?”
“Begini, kemarin si Nata sms ke aku, bilang kalau Safika minta foto aku ke dia, buat dibakar !!”, ceritaku berapi – api.
“Hah ???”, Chira dan Lala terbengong – bengong.
“Sstt !!”, kuinjak kaki mereka berdua. “Jangan keras – keras dong ! Satu kelas jadi pada nengok tahu !”
Separuh kelas makin melihat kearah kami karena aku bicara agak keras juga. Jadi terpaksa aku mengalihkan sedikit.
“Umm .. halo .. halo .. kenapa.. kok pada ngeliatin ? Hahaha.”, aku tersenyum terpaksa dan meringis. Aduh, memalukan sekali.
Setelah semuanya kembali normal, kami hendak kembali membicarakan tentang Safika. Tapi, Catherine keburu datang, dan ritual tos kami harus dilakukan terlebih dahulu.
“Halo semua !!”, seru Catherine ceria ketika memasuki kelas.
“Cath ,, sini !”, ajakku.
Catherine mendekat dan segera duduk di bangkunya di sebelah Lala.
“Ada apa ini ? Konferensi Meja Bundar ya ?”, Catherine celingak celinguk.
“Bukan”, sambar Chira cepat.”Tapi Konferensi Meja Kotak.”
“Mana ada”, sahut Lala.
“Sudah ah, jayus amat. Konferensi nya sudah akan dimulai nih, cuma dari tadi sinyalnya putus – putus terus.”, kataku gak nyambung.
“Dih, emang HP pake sinyal – sinyal.”, sambung Catherine.
“Woi ! Dari tadi yang mau diomongin tidak bisa – bisa.”.
“Ya udah, mulai deh, konferensinya ..”
Aku menjelaskan semua informasi yang kuterima dari Nata. Setelah itu, kami hendak berunding lebih lengkap di toilet putri. Namun sebelumnya, kami mengamankan semua foto dan barang berharga kami, karna khawatir akan diapa-apakan. Habis ini kami akan berkegiatan diluar kelas, makanya barang-barang kami harus dibawa, terutama foto. Kami takut Safika akan mengambilnya dan menggunakannya untuk yang aneh – aneh. Lalu, Catherine mencetuskan sebuah ide.
“Eh, sementara kita ke toilet, aku akan pura – pura tidak sengaja menjatuhkan plastik yang berisi foto – fotoku di depan Safika. Terus nanti kita lihat, fotoku masih ada di tempatnya atau tidak saat kita kembali. Oke ?”
Aku, Chira, dan Lala tersenyum. Lalu kami toss, dan buru – buru ngibrit ke toilet.
“HP Chira, aman ?”, tanya Lala ketika kami sampai di toilet. HP Chira tidak bisa dia pegang sendiri karena seragam tugasnya tidak memiliki saku.
“Aman, ada di sakuku.”, jawabku.
“Lalu bagaimana dengan HP-mu sendiri ?”
“Oh iya”, aku menepuk keningku.”HP-ku gimana ya ?”
“HP Chira aku saja yang pegang”, ujar Catherine.
“Ini.”, kuoper HP Chira ke Catherine.
“HP-mu Catherine ?”, tanya Chira.
“Muat kok, di sakuku sendiri. HP ku kan bukan QWERTY seperti kalian. “
“HP Lala ?”
“Aman.”
“HP Viana ?”
“Aman.”
“Foto – foto ?”
“Aman, dipegang masing – masing, kecuali foto Chira di Viana, foto Catherine masih di hadapan Safika.”
“Oke, kalau begitu beres.”, ujarku.
“Vi,kau duluan yang balik ke kelas, supaya Safika tidak curiga, and jangan lupa periksa foto Catherine ya.”
“Sip.”
Aku segera melangkah keluar toilet dan masuk ke dalam kelas. Ternyata foto Catherine masih ada di tempat dijatuhkannya tadi. Langsung saja kuambil foto – foto itu, tentu saja dengan sedikit berakting agar tidak mencurigakan.
“Aduh, si Catherine ceroboh sekali sih, masa fotonya bisa jatuh di sini.”, kupungut foto – foto Catherine dan kumasukkan ke dalam saku.
Tak lama kemudian, Chira, Catherine, dan Lala kembali.
“Gimana Vi, fotonya Catherine diambil tidak ?”, tanya Lala.
“Nggak.”
“Hmm … Ya udah deh, kita turun dulu yuk, kegiatan di bawah udah mulai tuh. “
Sesaat kemudian, kelas 6d pun turun dengan sedikit komando dariku dan Hiero.
Kami melakukan kegiatan semacam ekskul pilihan masing – masing. Aku mengambil Basket. Lala mengambil Futsal, sementara Catherine dan Chira ikut pelatihan bulutangkis. Tetapi karena Chira sedang di panggil ke Sakristi, kami yang harus membawa barang – barangnya.
Bel istirahat berbunyi pada pukul 08.30 dan kami harus kembali ke kelas untuk istirahat lalu melanjutkan pelajaran seperti biasa.
Pak Haryono memasuki kelas pada pukul 09.00 dan memberi kami setumpuk tugas. Tapi kami diberi keringanan dengan diizinkan bekerja sama. Aku, Chira, Lala, dan Catherine memutar balik kursi, dan mengajak Matt serta Christ bekerja kelompok dengan kami.
“Nah, kalian boleh bekerja sama, tapi tidak boleh saling mengganggu. Renata, Safika, ikut Bapak ke lab IPA, sekarang .”, perintah Pak Haryono.
“Buat apa, Be ?”, tanya Renata. Babe adalah panggilan akrab kami ( anak – anak kelas 6 ) untuk Pak Haryono. Yah, terutama yang memanggilnya begitu anak muridnya sendiri, kelas 6d.
“Yaaa, pokoknya ikut aja lha ,,”, ujar Babe sambil melenggang pergi, sementara Nata dan Safika mengikuti di belakangnya.
Kami ( C2VL ) saling berpandangan. Kalau Nata dan Safika dipanggil berarti kan Mama sudah melaporkan mereka ke Babe.
“Coba periksa HP-mu, Vi.”, ujar Chira.
“Oke”. Aku segera menyalakan HP. Benar saja, Mama sudah membalas SMS-ku tadi yang berisi pertanyaan tentang laporan mama tentang Safika ke Babe.
Vi, Mama sudah datang dan melaporkan masalah Safika ke Pak Haryono tadi pas kamu istirahat. Ohya, mamanya Chira tadi juga datang.
“Iya, mamaku sudah datang ke Babe. Mamanya kamu juga sudah, Chir.”, laporku.
“Bagus !”, seru Lala. ”Biar tahu rasa mereka.”
“Ya sih .. tapi aku kasihan sama Nata, dia kan tidak salah apa - apa. Jangan sampai Nata dimarahin deh. Nata kan yang memberitahuku tentang si Safika itu. Kalau tidak ada Nata, mana bisa kita melaporkan Safika ? Ya kan ?”
“Iya juga sih … kalau dipikir – pikir kasihan Nata …”
“Pokoknya, sekarang aku mau bilang sama Babe, kalau Nata tidak boleh dimarahin ! Tapi pertama, aku mesti lihat dulu, keadaan di sana.”, seruku bersemangat.
“Bagaimana caranya, Vi ?”
Aku tidak menyahut. Kusambar simulasi UASBN IPA ku, lalu aku berjalan menuju lab IPA untuk menemui Babe.
Aku bahkan tidak mengetuk pintu saking penasarannya dengan suasana di dalam.
“Be !”, panggilku sambil melenggang masuk.
“Apaan ?”, sahut Babe. Aku dan Babe memang cukup akrab karena Babe sering membuat aku kesal dengan mengejekku, mengerjaiku, pokoknya gitu lha.
“Papila itu apa ?”, tanyaku. Aku sengaja bertanya mengenai simulasi IPA, agar tidak mencurigakan. Sementara itu, Safika hanya menatapku sinis.
“Ya ampun, kamu tuhh, sudah mau lulus, masa masih tidak tahu juga yang namanya papila ???”, kata Babe gemas.
“Nggak.”
“Tanya tuh sama Renata”, kata Babe.
“Apa Nat, jawabannya ?”, tanyaku basa – basi.
“Hm … C, kayaknya Vi ..”
“Kayaknya ? Duh … kamu juga ya Renata ! Sudah ah ! Belajar sono ! Gimana mau UASBN dapat nilai 100 kalau papila saja tidak tahu !! Tanya Jonathan saja sana, Vi !”, Babe mendorongku keluar.
“Ihh ,, Babe mah ! Ditanyain malah ngusir ! Malah nyuruh bertanya pada Jonathan lagi ! Suddah capek – capek jalan kesini ! Huhh !”, balasku sok sewot. Segera aku keluar dari lab IPA.
Walaupun kelihatannya aku sewot, sebenarnya aku puas karena sudah mengetahui yang aku inginkan.
“Bagaimana keadaan di dalam, Vi ? Kau berhasil masuk tidak ?”, tanya Catherine ketika aku sampai di kelas.
“Ya, Safika hanya menatapku sinis, sementara belum lima menit aku sudah diusir Babe. Tahu sendiri kan, tabiat Babe ? Malah menyuruhku bertanya ke Jonathan.”
“Apaan ? Kok aku disebut – sebut ?”, tanya Jonathan sambil menghampiri meja kami.
“Tidak ada apa – apa, kok. Sudah sana, jangan berharap bisa menguping pembicaraan kami !”
“Yee, siapa yang mau menguping.”, sahut Jonathan, lalu kembali ke mejanya.
“Sudah deh, kita kerjakan saja dulu soal simulasinya, daripada kena omel Babe nantinya. Oke ?”, ujarku.
“Oke”
Kami pun kembali mengerjakan soal dengan tekun. Sekitar pukul 10.30, Babe masuk ke dalam kelas.
“Sudah dulu mengerjakan latihannya. Istirahat. Siapa yang pimpin doa ?”
“Nomor urut 21 !”, seru Anas. Oya, aku belum cerita ya ? Anas merupakan seksi liturgi yang baru, jadi dia yang mengatur siapa yang memimpin doa.
Nata yang sudah kembali dari lab IPA, segera maju dan memimpin doa. Setelah itu, anak – anak dari kelasku segera berlarian dan berceceran di mana – mana. Ada yang ke toilet, jajan ke bawah, bermain di kelas, atau mengoborl di luar. Yah, boleh – boleh aja sih, kan sudah jam istirahat kedua. Tapi masalah ini belum selesai kayaknya !

Sabtu, 08 Mei 2010

Chapter Twelve _ SMS Renata

Kembali ke masalah Safika. Jadi, begini tadi aku dapat laporan dari Renata, kalau Safika tuh minta fotoku untuk dibakar. Waduh, panik aku jadinya ! Soalnya,sejak ulangan umum dan try out” berakhir, aku sama Safika jadi musuhan lagi. Padahal, aku gak tau juga kenapa dia kayaknya benci banget sama aku. Dia tuh suka nengok ke belakang dengan tatapan sinis ( soalnya C2VL duduk di belakang Matt, sedangkan Matt di belakangnya Renata n Safika, jadi sebaris gitu ). Atau dia suka nyindir – nyindir aku. Kalau gak, cemburu berat gara – gara aku deket sama Matt. Gak jelas banget kan ? Hari ini juga dia bersikap aneh gitu pas di sekolah. Makanya aku jadi bête abis. Ohya, aku belum cerita ya, kalau hubungan aku sama Renata udah baik lagi ? Ya, pokoknya gitu deh, yang penting masalah aku udah berkurang. Trus, Pulang sekolah si Renata sms aku. Mau gak liat sms aku sama Renata ? Gini nih ..

Renata
Vii !
Viana
Apaa, Nata ??
Renata
Kamu marah ?
Viana
Ngga, sama siapa ?
Renata
Ya sama aku lah, Vi ,,
Viana
Gak koq
Renata
Trus koq sikapmu aneh banget hari ini sama ku dan Safika ?
Viana
Aku bête sama sikapnya si Safika ,,, capek tau ga diginiin mulu … emangnya salahku apa sih ?
Renata
Ga tau juga ya … mungkin dia iri sama kamu …
Viana
Iri kenapa ? Selama ini kan aku selalu bersikap baik – baik aja sama dia Nat ,,,
Renata
Kayaknya sih … gara – gara kamu tuh dia anggep sebagai pesaing berat … dalam hal pergaulan, kamu lebih punya banyak temen, soal persahabatan … kamu punya C2VL … juga soal nilai … dia tuh belajar abis – abisan cuma buat ngalahin kamu lho Vi ! Karena kamu rangking nya lebih tinggi daripada dia !
Viana
Setres ,,,
Renata
Jadi kamu gak marah sama aku kan Vi ?
Viana
Gak lah, Cuma aku tuh kesel banget sama Safika, Nat .. Kamu liat sendiri kan, tiap hari tuh dia nyebelin banget ??
Renata
Bagus lah … Iya, aku tau, sebenernya tuh setiap dia nengok ke belakang ( ngeliatin kamu n C2VL ) aku tau bakalan jadi musibah … pas dia nyindir kamu juga, duh … pengen aku bungkam mulut diaa
Viana
Emang tuh … gajelas banget … maksudnya apaan lagi kaya gitu … zz norak dasar dia tuh
Renata
Wkwkwk … emang ,,, oh iya Vi, tau ga sih, tadi tuh si Safika minta foto kamu ke aku … buat dibakar !! Gila … sinting kali ya tuh anak … tapi ga aku kasihlah …
Viana
Yang bener ? Autis banget sih ! Dia mau nyantet aku atau apa tuh ?? Dia kan suka ngomong sama tanaman … ngomong sama ginjal orang … katanya bisa baca pikiran orang lain … gimana kalo dia berbuat yang aneh – aneh lagi ? Waduh ,,,
Renata
Tau lah … tapi tenang Vi … gak bakal aku kasih kok … Masa aku tega mendukung Safika berbuat aneh – aneh gitu sama kamu ? Hahaha
Viana
Fiuhh … ya udah deh … thanks banget ya Nat …
Renata
Sipp, Viii …
Viana
Aku mau ngerjain latihan soal dulu, besok kita sms-an lagi yahh… Byee
Renata
Bye !!

Pas aku certain sama Mama, Mama nanggepinnya dengan serius lho ! Soalnya kan selama ini aku suka cerita ke mama soal keanehan Safika, dan kata Mama, Safika harus dilaporin ke guru, supaya dia lebih diawasin lagi, dan aku lega dengernya. Masalahnya, aku takut juga sama Safika. Kalau dia berbuat yang aneh – aneh kan, gawat. Jadi besok Mama mau ketemu wali kelasku, Pak Haryono, buat ngelaporin Safika. Kayaknya konflik bakal berlanjut nih !

Chapter Eleven _ Membaca Pikiran Orang Lain

Hari ini kami menjalani Try Out ke- V di sela – sela ujian praktek. Kami sudah menjalani ujian praktek setengahnya, namun dipotong dulu dua hari untuk Try Out ke- V. Jadi, ujian praktek akan dilanjutkan minggu depan.
Aku jadi agak kecewa karena aku ditempatkan di ruangan yang berbeda dari Chira, Catherine, dan Lala. Mereka malah sekelas dengan Renata, sementara aku satu ruangan dengan Safika. Duhh, kesal sekali jadinya. Pasalnya, aku agak khawatir Renata akan menggantikan posisiku di C2VL selama dua hari ini, atau malah seterusnya, Tapi mau diapakan lagi, aku tidak bisa berbuat apa - apa sebab nomor ujianku memang bertempat disini, ruangan Try Out sekaligus ujian, kelas 4a.
Kali ini kami murid 6D, hanya berjumlah enam orang, sebab keduapuluh satu anak lainnya bertempat di ruangan sebelumnya. Jadi, kami dicampur dengan sebagian murid 6E. Tidak begitu buruk kurasa, sebab kami semua berteman baik.
Try Out berjalan hening awalnya, diawasi oleh dua orang guru, yaitu Bu Patrice dan Bu Theresa. Namun, lama kelamaaan malah mereka yang mengobrol, sehingga suasana di kelas jadi agak santai. Akhirnya kamipun juga mengobrol, walaupun tidak keras – keras, hanya dengan cara berbisik dan dengan bahasa isyarat. Memang sih, kadang suara kami jadi agak keras, tapi kami cukup bisa mengontrol diri.
Safika yang sering mengikuti pelatihan otak, melakukan berbagai trik tangan yang sulit, harus dikendalikan otak kanan dan otak kiri, bagitu katanya agar keduanya seimbang. Aku, Wandi, Cherry, Deta, Rena, dan Fifi yang duduknya berdekatan mengikuti gerakan yang diajarkan Safika. Asyik sekali, sering kami tertawa tawa dan mengobrol riang. Tidak ada salahnya aku baik pada Safika kali ini, karna tak setiap saat kami harus bermusuhan.
“Nah, coba kalian satukan jari telunjuk kalian di tengah, seperti ini nih, terus ayunkan jari yang sebelah kiri ke arah belakang, sementara yang jari sebelah kanan kedepan.”, komando Safika. “Ya, lalu pertahankan putaran yang stabil dan kedua jari harus bersentuhan dalam setiap putaran tepat di tengah.”. Ia menjelaskan sambil memperagakan gerakan yang ia maksud. Kami berusaha mengikuti tapi sering gagal dan akhirnya tangan kami hanya berputar putar tidak keruan.
“Gimana sih, aku tidak mengerti”, Wandi garuk – garuk kepala.
“Kayak gini ya ?”, tanya Cherry sambil mempertahankan putaran tangannya di udara.
“Aduh, bukan begitu Cher, tapi putar berlawanan. “, ujar Safika.
“Ada trik lainnya gak Saf ?”, tanyaku sambil menggoyang – goyangkan jariku yang pegal.
“Banyak, kok.”, jawab Safika semangat. “Sini deh kuajari lagi. Sekarang tangan kalian yang sebelah kiri harus berputar membentuk lingkaran, sementara yang kanan bergerak membuat kotak di udara. Terus begitu dan tidak boleh berhenti ya, harus cepat dan sama kecepatannya.”
Kami semua mencoba. Aku suka sekali suasana yang bersahabat seperti ini, sehingga walaupun gagal, aku jadi lebih bersemangat untuk mencoba lagi.
“Yes, aku bisa Saf ! Seperti ini kan ?”, ujar Rena.
Safika menganggguk, “Ya betul ! Nah, tuh Fifi dan Viana juga sudah bisa !”
Aku juga mengangguk gembira. Lalu, kami diajarkan berbagai permainan lain, seperti “Menggosok Memukul”, lalu “Selip Kelingking” dan membengkokan ujung jari.
Agaknya para pengawas sudah sadar akan keributan kami. Maka kami disuruh diam dan duduk dengan baik. Kami melaksanakannya, dan ketika Bu Patrice dan Bu Theresa lengah, kami mulai bisik – bisik. Tapi Cherry, Deta, Fifi, dan Rena sudah tidak ikutan. Sekarang hanya tinggal aku, Wandi, dan Safika. Safika yang memulai pembicaraan.
“Biar kutebak, tadi Lala marah karena cemburu dengan kedekatan C2VL dan Renata kan ?”, ujar Safika.
Aku terkesiap. “Lho, kok kamu tau sih Saf ? Memangnya Lala cerita ?”
“Tidak kok”, sahut Safika. “Aku juga tidak tahu, sejak ikut pelatihan di Hotel La Glamour dua minggu lalu, aku jadi bisa tahu rahasia orang lain. Bahkan aku bisa tahu apa yang sedang kalian pikirkan, tak tahu juga kenapa.”
Wandi tercengang mendengar pengakuannya. “Kok bisa ? Hebat dong ! Coba, kau tahu tidak, aku suka dengan siapa ?”
Safika diam sejenak, lalu ia memandang berkeliling dan menjawab. “Terlalu sulit menebak hal tersebut, karna Wandi menyukai banyak orang. Tapi salah satunya adalah Giselle 6E.”
Aku langsung cekikikan dan menendang bangku Wandi. “Dasar playboy cap kampung kau .”
“Hehehe”, Wandi tertawa malu – malu.
“Aku juga bisa mengetahui, Viana suka siapa.”, kata Safika.”Tapi, belum kucoba sih”
“Tidak ada kok, hahaha”, sambarku cepat. Aku tidak ingin dia menyebut sembarangan nama orang lain, karna bisa – bisa menjadi gosip. Ih, kalau dia nebaknya salah, terus orangnya itu ancur, gawat kan ?
“Aku juga tahu”, ujar Wandi sok misterius. “Yang disukai Viana itu … seorang cowok … murid 6B … yang akan menjadi cowoknya, prikitiew”. Aku tahu siapa yang dia maksud, Steven 6B, dia dulu sahabatku pas kelas 4, tapi banyak gossip yang beredar bahwa Steven menyukaiku dan sejak itu pula hubungan kami jadi agak renggang sebab setiap kami mengobrol dikit saja pasti akan di ‘cie cie’in. Lagipula, kami sudah tidak sekelas.
“Diam kau, itu tidak benar tahu. Aku tidak menyukainya, tapi kan terserah kalau dia menyukaiku. Memang aku berhak melarang ?”, balasku sewot. “Sudah Saf, kita tidak usah pedulikan peramal amatir ini, oke ? Lanjutin yuk.”
Kami tertawa dan langsung mulai ngobrol lagi.
“Nah Vi, pasti pas kelas 6 ini, kamu sempat sering kejar – kejaran dan bercanda akrab dengan seorang anak cowok, murid kelas 5, kelas C kalau ga salah. Btul gak ?”, tanya Safika.
“Benar sekali. Hahaha”, jawabku. Cowok yang dia maksud itu adalah Rey, sahabat cowokku yang merupakan murid kelas 5. Aku sering sms-an dan terkadang aku suka minta bluetooth lagu darinya bila bertemu.
“Trus, cowok itu tuh disukain sama banyak cewe, teman – temannya. Salah satunya bernama Jane.”
Aku terkejut. ”Keren ! Padahal kan kamu tidak kenal dengan temanku itu Saf, kok kamu bisa tahu tentang rahasianya sih ? Sampai cewek yang menyukainya pula !”
Safika tersenyum, “Makanya itu, aku juga bingung.”
Obrolan kami berlangsung seru. Safika betul – betul hebat. Dia bisa mengetahui pikiran orang lain, bahkan dia tahu bahwa aku dan Renata masih suka telponan setiap sore. Padahal kami tidak pernah bercerita pada siapapun. Yah, walaupun begitu, aku belum percaya 100% bahwa Safika bisa membaca pikiran orang lain. Tapi kuhargai dia, sebab topik tentang kemampuannya itu membuat obrolan kami jadi makin seru.
Kemampuan Safika ini menarik, namun satu hal yang kukhawatirkan. Bagaimana kalau dia mengetahui rahasiaku ? Matilah aku.

Jumat, 07 Mei 2010

Chapter Ten _ Ketua Kelas dan Wakil Ketua Kelas

Sejak semester II dimulai, pengurus kelas telah berganti. Jabatan Ketua Kelas dipegang Hiero dan wakil ketua kelas adalah aku sendiri. Tidak enak awalnya, tapi lama kelamaan aku mulai menikmati tugasku ini. Setiap hari kami bergantian menyiapkan barisan, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Terus terang, aku sekarang mulai menyukai jabatanku ini.
Jadi, setiap pagi aku dan Hiero juga kerepotan mengurus ke 25 bawahan kami. Kadang Hiero harus berteriak – teriak seperti hansip yang hendak menangkap maling dan kadang aku harus menggeret – geret cewek – cewek usil yang sengaja membuat aku dan Hiero kesal dengan cara minum air selama kira – kira setahun di dalam kelas atau menulis agenda lamaaaa sekali yang mungkin lamanya bisa sampai seabad. Seperti hari ini juga, kukira.
“Baris !!!!!!” teriak Hiero.
Sekali teriakan saja belum cukup. Cowok – cowok yang main bola di dalam kelas masih saling mendorong dan berebut bola.
“Woi, buruan dong baris !!!”, seruku nyaring.
Teriakan kedua berhasil mengeluarkan sebagian anak cowok yang bermain bola di dalam kelas.
“Ba –“
“Ris !”
“Ba-“
` “Ris !”
Aku dan Hiero bersahutan mengatakan kata “baris”, Hiero mengatakan “ba” dan aku “ris”. Teriakan ketiga kami mampu mengeluarkan semua cowok dan mengeluarkan semua anak yang kerjanya cuma bengong di dalam kelas, entah sedang meditasi atau sengaja membuat aku dan Hiero emosi.
“Baris ! Baris !”
“Semuanya, BARIS !!!!”
Teriakan keempat kami mengeluarkan semua cewek sekarang kecuali duo lelet yang suka bikin kesel aku dan Hiero. Renata dan Safika. Entah mereka golongan apa, kadang mereka lempar penghapus, mencoret – coret papan, menggeliat genit, kejar – kejaran, atau minum air selama setahun lebih.
Oke, satu hal yang akan kuluruskan, BUKAN aku yang mau melakukan ini. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai wakil ketua kelas yang harus mengatur ‘anak buah’nya.
Hiero keluar untuk menyiapkan barisan yang sudah berbaris kebelakang, sementara aku harus membereskan urusanku terlebih dahulu dengan duo lelet ini.
3M, MENARIK, MENDORONG, MENYERET. Nah, inilah yang kulakukan pada mereka berdua agar mau keluar dan baris.

Chapter Nine _ Hari Sabtu

Hari-hari kami di 6d baik-baik saja sampai ada pengumuman bahwa anak-anak kelas 6 harus meninggalkan kegiatan ekskul dan mengikuti latihan UASBN setiap hari Sabtu pagi dari pukul tujuh sampai pukul sepuluh.
Sebenarnya berat bagiku meninggalkan kegiatan ekskul basket yang sangat aku suka tetapi demi mendapat nilai yang bagus, aku rela – rela saja . Moodku belum terlalu rusak sampai kami tahu bahwa anak kelas 6B dan 6a akan dipencar sebagian ke tiga kelas yaitu 6c, 6d, dan 6e. Hari Sabtu yang semestinya menyenangkan menjadi rusak sepenuhnya. Kau tahu kenapa ? Sebab kami tahu bahwa anak kelas B begitu membenci kami terutama karena Dana kelas B yang memulai kebencian mereka pada kami. Tapi aku tidak tahu apa sebabnya. Kudengar sih Dana kesal sama Matt, entah kenapa. Lalu kebencian mereka menyebar sampai ke satu kelas 6d.
Dana memukul-mukul meja. Juga bernyanyi tidak keruan. Tampaknya dia memang ingin melihat kami marah. Dia menendang - nendang kursi Anas yang duduk di depannya. Anas adalah murid 6d jadi aku tahu apa yang dia rasakan.
“Diam ! Apa kau tidak bisa membungkam mulutmu sebentar saja ! Aku datang ke sini untuk belajar bukan untuk bermain. Bisakah kau bersikap sopan sedikit ? Tak tahukah kau bahwa kau sedang berada di kelas orang lain ? Tidak punya telinga apa ya ? Sudah kuperingati kau dari tadi !! Berhenti menendang kursiku !!”, Anas menangis sambil memarahi Dana. Dana awalnya hanya tersenyum meremehkan. Pandai sekali dia membuat Anas marah. Tak pernah aku melihatnya semarah itu.
Kami murid-murid 6d menenangkan Anas. Namun dia tetap menjerit. Sesungguhnya aku ingin menampar Dana tapi untung saja tidak kulakukan.
Tiba-tiba Bu Tanti datang ke kelas. Aku yakin Bu Tanti mendengar keributan di kelas kami. Di kelas kami sedang tidak ada guru yang mengawas makanya Dana dapat berlaku sesuka hati. Ketika ada guru saja dia sudah menyebalkan, apalagi tidak ada guru ? Bencana.
“Ada apa ini ribut-ribut ?”
Seketika seluruh kelas hening. Dana pun tak berani mengeluarkan suara.
Chira selaku wakil ketua kelas 6d angkat bicara dengan nada marah. “Ini Bu, Dana tidak bisa diam. Dia terus- terusan mengganggu kami dan menendang bangku Anas sehingga Anas tidak tahan dan akhirnya marah dan menangis. Kurasa itu patut dimaklumi sebab Dana-lah sumber dari keributan ini”.
“Kok aku sih Bu ? Aku tidak melakukan apapun, sungguh !”, kata Dana membela diri.
“Jadi kau bilang menendang dan bernyanyi tidak keruan serta menggebuk meja dan meneriakkan kata-kata kotor masih tidak masuk hitungan mengganggu ? Luar biasa tolol !”, kata Chira geram.
“Jangan sembarang omong ya ! Aku tidak ngapa – ngapain kok ”
“Cukup Dana !! Ibu tahu kelakuanmu sehari-hari di kelasmu sendiri ! Kau begitu bandel dan kurang ajar ! Anas, kau pindah saja ke barisan belakang di seberang sana ! Daripada kau terus digangggu si Dana ini.”, kata Ibu Tanti.
Anas membereskan tas dan buku-bukunya lalu pindah.
“Nah, anak-anak, tolong jaga ketenangan ya ! Kerjakan soal latihan kalian dengan teliti. Dan tolong jaga sikapmu, Dana. Ibu keluar dulu ya.”, kata Bu Tanti.
“Baik Bu”, ujar kami serempak.
Belum lima menit berlalu Dana sudah bertingkah lagi. Semua kebandelannya dilakukan kembali. Aku sama sekali tidak bisa berkonsentrasi sebab Dana tidak henti-hentinya berteriak. Ditambah dengan beberapa teman-temannya dari 6b seperti Nick dan Joshua dan lainnya. Tapi tetap saja Dana yang paling berani bertindak dan berlaku sebagai provokator.
Dalam tiga jam latihan UASBN hari ini sudah dua kali dia ditegur oleh guru. Bu Tanti dan Pak Wiryo. Setelah Pak Wiryo pergi Dana kembali melakukan aksinya. Kalau begitu apa gunanya ia ditegur ? Heran aku.
“Aku minta kau diam.”, kata Renata ketus.
“Siapa kau mengatur aku ?”, balas Dana.
“Kami adalah murid-murid yang ingin belajar, sebab kami punya otak.”, sambar Didi.
“Heh, apa peduliku ? Urus saja urusan kalian sendiri !”
Aku yakin akan ada pertengkaran lagi.
“Ingin sebetulnya kami usir kau keluar dari kelas ini.”, ujar Matt geram.
“Kami juga ingin keluar dari sini.”, kata Nick dengan nada menyebalkan.
“Keluarlah kalau begitu !”, jerit Lala yang sudah tak tahan.
“Kubilang kami juga mau !”, Dana membalas dengan nada tinggi.
Mereka mulai bersahut-sahutan. Konsentrasiku buyar. Bahkan aku butuh 10 menit untuk mengerjakan satu soal. Ingin rasanya aku berkeliling kelas sambil menjerit dan menampar satu persatu tampang menyebalkan anak – anak tak tahu diri itu.
Pertengkaran berlanjut sampai Catherine dan aku bertindak.
“Diam ! Dasar kau Dana trouble maker !”, seru Catherine dengan suara pecah. Aku takut ia akan menangis.
Aku yang melanjutkan walaupun aku juga takut kalau aku marah aku akan menangis seperti Anas. “Kalau kalian tak mau keluar, kami yang akan keluar !”, suaraku meninggi.
Davi tersenyum meremehkan kami.” Silahkan”
Aku menarik napas. “Terima kasih atas kekacauan yang kau buat hari ini Dana. Aku terkesan”.
Maka aku dan Catherine segera beranjak keluar sambil membawa buku dan pensil kami. Aku bisa mendengar murid 6d yang lain mengumpat pada Dana dkk, karena aku dan Catherine beralih untuk belajar di luar. Tapi aku senang karena setidaknya mereka mendengarkan kata-kataku yang terakhir.
“Di sini jauh lebih baik.”, ujar Catherine padaku.
“Ya, aku bisa mengerjakan soal dengan cepat sekarang. Aku senang kita keluar.”
Kami melakukan tos sampai Pak Rito, guru yang paling galak yang pernah ada berjalan menghampiri kami.
Catherine bergidik ngeri. Kami takut kena marah. Tapi nyatanya Pak Rito justru bertanya dengan nada baik – baik pada kami.
“Ada apa ? Kenapa kalian belajar di luar ? Apakah Dana mengganggu kalian ?”, tanya Pak Rito pada kami. Tak heran Pak Rito akan menanyakan Dana, karena Pak Rito adalah wali kelas 6b, tempat Dana dkk. Membandel setiap harinya. Pasti Pak Rito tahu kelakuan mereka sehari-harinya,
“Ya Pak. Dana dan anak-anak lelaki dari kelas Bapak tidak bisa berhenti mengganggu. Kami tidak dapat belajar dengan baik.”, kata Catherine.
“Bukan bermaksud mengadu Pak. Tapi Dana sudah ditegur guru dua kali hari ini tapi dia belum kapok juga.”, timpalku.
“Sudah kuduga dia akan mengacau. Akan kutegur anak itu. Sikapnya sudah keterlaluan”, kata Pak Rito.
Kami tersenyum senang. Kami berdua mendengar,ketika Pak Rito membuka pintu semua langsung diam. Kadang amarah Pak Rito lebih seram daripada apapun yang pernah kau lihat di dunia ini. Itu sebabnya mengapa detik-detik ini adalah petaka bagi murid-murid 6b yang mengacau dan Dana dkk. Mereka pasti dimarahi habis-habisan.
Setelah mengomel, Pak Rito berkata pada kami.” Tak apa jika kalian lebih nyaman belajar di luar. Si Davi memang sulit diberitahu. Kerjakan soal latihan kalian ya, jangan lupa.”
Aku dan Catherine berpandangan setalah Pak Rito berlalu. Belum pernah beliau sebaik ini ! Tapi tidak lama aku bisa mendengar keributan yang dibuat Dana lagi. Kali ini dia mengata-ngatai Pak Rito dan murid 6d. Lalu Matt keluar.
“Masuklah. Tak sepantasnya kalian di luar. Semestinya Dana dkk. lah yang belajar di luar.”
Catherine menggeleng. “Tidak, kami disini saja.”
“Kalian tidak dimarahi Pak Rito kan ? Kami gembira kalian mengatakan kebandelan Davi pada Pak Rito walaupun kita semua disebut tukang ngadu.”
“Tapi dia memang pantas diadukan kok.”
Aku menerebos Matt dan berkata dari depan pintu. “Nah ? Enak kan dimarahi Pak Rito ? Namun memang dasar kau Dana tidak bisa diam, tak ada gunanya memarahi kamu. Perbuatanmu akan dilakukan terus menerus. Bagi murid-murid yang merasa terganggu, silahkan belajar di luar seperti kami jika menurut kalian itu lebih efektif. Pak Rito yang memberi izin. Dana, silahkan lanjutkan omonganmu yang tidak berguna ! Kami sudah buktikan bahwa kami sang tuan rumah di kelas ini lebih memiliki sikap dan mengalah pada kalian anak-anak yang tak tahu diri.”. Lalu pintu kututup kembali.
Tak lama kemudian sebagian besar murid 6d keluar, duduk tenang sambil mengerjakan soal latihan. Sampai bel berbunyi, Pak Rito lewat lagi. “Nah, sekarang kalian sudah boleh pulang. Bereskan barang – barang kalian dan beritahu juga anak – anak yang di dalam ya.”
Kami bersorak gembira dan berlarian masuk kelas.
Aku berkata, “Silahkan pulang, akhirnya kalian bisa keluar dari sini, iya kan?”, aku tersenyum puas sementara Dana dkk. tak mau lagi berkata-kata.
Tiga jam pada hari Sabtu ini betul-betul dahsyat !

Chapter Eight _ Ulang Tahun Catherine

Hari ini adalah hari ulang tahun Catherine. Tanggal 25 Januari. Kami semua tidak ingin melewatkannya jadi kami membuat semacam kejutan untuknya. Dari jauh hari kami mengumpulkan uang sebesar lima ribu rupiah dari tiap murid 6D untuk membeli kue lezat rasa lemon. Sayang kami tidak membeli yang rasa coklat ataupun black forest sebab Catherine sendiri alergi terhadap coklat.
Aku membuka pintu kelas 6D sambil tersenyum ceria karena tidak sabar ingin memberi kejutan untuk sahabatku Catherine. Tetapi senyumku tidak dapat dipertahankan dan ditampilkan cukup lama karena Lala langsung menyambarku persis ketika aku memasuki kelas.
“Tak ada banyak waktu untuk memberinya kue itu dan tiup lilin. Catherine belum datang tetapi kami…”, Lala menjelaskan tetapi dia berkata padaku sambil memandang rambutku. “Apa yang kau lakukan pada rambut depanmu?”
Aku mengelus poniku dan berkata, “Aku memotongnya, tentu saja. Ini menjadi poni, lihat.” Aku memang memotong poni hari Sabtu yang lalu.
Lala tertawa kecil, katanya “Aku suka rambutmu. Lucu sekali.”
Chira tiba-tiba menghampiriku. “Kau tampak manis kalau rambutmu begitu. Kita semua kembaran mempunyai poni sekarang !”
“Trims. Aku juga menyukainya.”, kataku. “Jadi kalian ke manakan kue tart lemonnya?”
“Kami taruh kuenya di kulkas ruang guru di lantai 2. Tapi sampai sekarang Catherine belum juga tiba ! Ke mana anak itu ?”
“Begini saja”, ujarku.Kupanggil Rena. Di adalah sepupu dari Catherine dan Anet yang juga duduk di kelas 6D. Dia anak yang baik dan lumayan cerdas, walaupun kami semua sempat bertengkar dengannya semester lalu. Rumahnya juga berdekatan dengan Catherine sehingga dia tahu banyak tentang apa yang terjadi pada Catherine.



Rena menghampiriku dan semuanya berkumpul di mejaku. Kami semua berunding. Akhirnya kami membagi-bagi tugas. Rena jaga pos 1 alias lapangan parkir, Matthew jaga di pos 2 alias gerbang sekolah, Lala jaga pos 3 alias tangga pertama, aku dan Chira di lantai 2 dari kelas 5c bertugas mengamati lapangan parkir , Renata di lantai 3 bertugas menerima pemberitahuan dan mengamati sekitar tangga, sementara anak-anak 6d lainnyaa di kelas untuk bersiap mematikan lampu, menyusun meja, dan menyiapkan kue.
“Ke mana si Catherine ? Jangan sampai dia tidak datang.”, aku mondar-mandir gelisah di sekitar lantai 2.
Kami menunggu 10 menit lagi dan memutuskan jika Catherine tidak datang juga setelah 10 menit mendatang, maka kami akan mengemasi kue dan menunda acara tiup lilinnya.
Chira menengok ke arah jam. “5 menit lagi atau kita harus berkemas”, katanya.
Entah berapa detik setelah itu, Matt berseru dari tangga bawah, “Cepat, Catherine datang ! Rena sedang mencoba mengulur waktu ! Cepat siap – siap !”
Aku berbalik dan berlari ke arah tembok pembatas. Benar, Catherine sedang berjalan menuju gerbang. Semua anak yang berjaga segera naik ke kelas.
Kami menyalakan lilin ulang tahun dengan angka dua belas. Kami berhasil Walau kami kesulitan menyalakan korek api.
Catherine tertawa gembira saat memasuki kelas. Lantunan lagu “Happy Birthday” menyambut kedatangannya.
“Thanks dear. Aku beruntung mempunyai teman-teman seperti kalian !”, ujar Catherine senang.
Kami semua tertawa ceria dan bergantian menyalami Catherine, lalu makan kue lemon yang nikmat sambil saling bergurau. Yahh, menurutku aku juga merasa beruntung memiliki kelas yang semua muridnya teman baikku, Kami semua saling menyayangi dan menghargai. Sungguh aku sangat menyukai 6d.

Kamis, 06 Mei 2010

Chapter Seven _ Bercanda Yang Kelebihan Batas

“Soal terakhir, apa yang akan kalian lakukan saat terjadi tsunami ?”
Sret, sret, sret, aku menuliskan jawabanku di kertas ulangan. Selesai sudah ulangan IPS hari ini. Fiuhh, ternyata susah juga.
“Kumpulkan lembar jawaban dari paling belakang”. Guruku, Pak Rito, menengok ke arah jam dinding. “Kelas IPS selesai, silahkan istirahat. Siapa yang pimpin doa?”
Jonathan berteriak, “Nomor urut 15 !”
Erika maju. “Teman-teman, marilah kita berdoa.” Kelas kami hening sejenak tapi ketika doa selesai dan Pak Rito keluar, semua berteriak girang dan berlarian menuruni tangga menuju kantin. Ada juga yang membawa bekal dari rumah. Yahh, namanya juga anak-anak.
Aku juga keluar kelas dan tiba-tiba Chira menampar pipiku lumayan keras walaupun tidak sakit.
“Itu untuk yang kemarin !”, seru Chira sambil tertawa dan berlari menjauh dariku. Kebetulan kemarin aku dan Catherine memang menamparnya, tapi kami sungguh hanya bercanda.
Aku ikut tertawa lalu mengejarnya dan menamparnya lagi. “Akan lebih baik jika kau kuberi bonus”
“Baiklah, kubalas lagi supaya impas”.
Tamparannya mendarat di pipiku. Lalu aku berkata sambil tertawa tersengal-sengal. “Baik, kita sudah impas. Sekarang kau harus membalas Catherine !”
Ketika Catherine manghampiri kami, spontan Chira menamparnya.
“Hei, tamparan untuk apa ini ?”
“Untuk yang kemarin, Catherine sayang”.
Catherine tertawa dan memberi Chira bonus tamparan seperti yang aku lakukan. Chira membalasnya tapi Catherine membalasnya lagi, lalu Chira membalas lagi. Sayang sekali aku tidak menonton show tampar menampar itu hingga selesai, sebab aku harus segera naik ke atas untuk mencatat agendaku jika aku tidak ingin terlambat mengumpulkan agenda.
Aku menyerahkan agendaku pada Renata yang bertugas sebagai sekretaris. Kemudian berlari keluar dan ternyata Chira dan Catherine masih saling menampar di tangga. Maka aku pergi ke toilet untuk buang air kecil sehingga aku tak usah repot pergi ke toilet saat pelajaran dimulai.
Aku berjalan keluar dari toilet sambil merapikan seragamku. Tapi kulihat Chira sedang dikerubungi beberapa anak jadi aku menghampirinya. Sepertinya sedang terjadi sesuatu.
Aku datang saat Chira sedang menangis sekeras-kerasnya.
“Ada apa ini ?”
Mei dari kelas 6c hendak menjelaskan tetapi Chira keburu memborongku dengan penjelasan yang penuh penyalahan seakan – akan aku baru mencuri emas dan berliannya yang seberat 1 ton.

“…Kalian tidak berhenti menamparku, kalian terus mengejarku. Tidak ingatkah kalian berapa banyak tamparan kalian kemarin ? Aku sungguh tidak mengerti kenapa kalian terus-terusan bertingkah layaknya anak kecil !”, Chira menangis terisak.
Aku menggaruk kepalaku walaupun tidak gatal. Habis, aku bingung mau menjawab apa yang cukup bijaksana. Kadang aku bisa terlihat kekanak-kanakan tapi bisa juga terlihat dewasa sekali.
Maka aku berkata, “Kami sudah berhenti kan. Kau dan Catherine yang tidak henti-hentinya saling menampar. Lagipula kita tak sungguh-sungguh saling menampar bukan ? Apa kau merasakan sakit ? Aku sih tidak. Tapi jika ya, kami minta maaf.”
Chira terdiam sambil mengusap air matanya. Aku tahu dari air mukanya dia sudah mulai menyesal.
“Dengar”, aku memberitahunya, “ Aku tidak ingin kita terpecah belah dan bertengkar hanya karena masalah sepele seperti ini. Sekali lagi aku minta maaf. Lain kali kita tak usah bercanda sampai kelebihan batas seperti ini. Aku janji.”
Kami terdiam cukup lama sampai Chira akhirnya menjawab.
“Aku sudah memaafkan kalian sejak tadi”, gumam Chira.
Aku tersenyum. “Itu bagus”
Aku menoleh dan melihat Catherine yang berlari ke kamar mandi.
“Baiklah, aku akan menyusul Catherine ke toilet. Mungkin dia sedang menangis. Aku akan berusaha membuat kalian rekat kembali. Oke ?”
“Oke.”
Aku berteriak memanggil Catherine ketika sampai di toilet perempuan., tapi dia tidak menjawab. Kupanggil dia sekali lagi.
“Catherineeee ?????? Kau di dalam ?”
“Ya, memang kenapa ?” Suara Catherine tidak terdengar seperti sedang menangis.”
“Sedang apa kau?”, tanyaku.
“Aku sedang buang air kecil. Aku kebelet nih !”
Aku tertawa. “Syukurlah kau tidak menangis. Aku mengkhawatirkanmu.”
Catherine keluar kamar mandi lalu bercermin. Dia juga tertawa. “Tidak, untuk apa?”
“Karena pertengkaranmu dengan Chira. Kau tidak tahu dia menangis ?”
“Tentu saja aku tahu. Tapi kurasa aku tidak perlu menangis, ya kan ? Kita bisa selesaikan ini baik-baik.” Tapi dia berpura-pura menangis seperti bayi-bayi kecil.
Aku tertawa lagi.“Kurasa aku punya ide. “ Aku membisikkan sesuatu padanya dan dia mengangguk sambil tersenyum.
Catherine melangkah keluar dari kamar mandi dan menerobos anak-anak kelas 5. Suaranya serak karena dia tersedu-sedu.
“Oh, kumohon jangan menangis. Menangis takkan menyelesaikan apapun. “. Aku berdiri menjajarinya dan mengikutinya ke dalam kelas.
“Kau takkan mengerti !”
` Dia duduk di bangkunya sambil tersedu.
Aku berkata pada Chira, “Ayolah, kau juga harus minta maaf padanya. Apa kau tidak kasihan ?”
Chira diam dan mendekati Catherine, sementara aku menghampiri Catherine di sisi yang lain bersama Lala. Dia habis berbisik pada Lala.
“Lala, apa yang dia katakan barusan?”, tanyaku pada Lala. Aku menendang kakinya, sebagai tanda bahwa ia harus mulai mengarang cerita dan sedikit berakting.
Kening Lala berkerut.” Aku tidak dengar dengan jelas tapi dia berkata ‘ La, aku ingin keluar saja dari C2VL ‘. Begitu… Aku tidak ingin kita berpisah”, jelas Lala dengan nada cemas.
“Kumohon jangan keluar Cath. Kita bisa selesaikan ini…”
“Aku tak peduli”
Aku memandang Chira dan Chira memandang Catherine. Tiba-tiba ia berkata, “ Maafkan aku Cath. Aku bersalah juga karena telah membesar-besarkan masalah ini. Aku menyesal. Dan kuminta jangan keluar dari C2VL, berhentilah menangis. Kumohon. C2VL akan sepi tanpa kau. “
Catherine berbalik dan tertawa. “Siapa yang menangis?”
Kami semua tertawa melihat acting kami.
Chira tertawa paling keras. “Kalian sungguh keterlaluan !” Tapi dia tidak marah melainkan tertawa senang.
Catherine berkata di sela-sela tawanya. “Kami merencanakan ini saat tadi di toilet”.
Kata Lala, “Kami yakin kau butuh sedikit gurauan untuk memperbaiki perasaanmu”.
“Jadi kami lakukan ini.”, kataku.
Kami tertawa tanpa berhenti.
Lalu Chira berbisik pada kami saat baris, “Ngomong-ngomong, acting kalian hebat juga.”

Chapter Six _ Sindir Dibalas Keki

Hari ini tempat duduk kami berputar seperti biasa. Sial, aku kebagian tempat dibelakang Renata dan Safika. Oya, aku belum cerita tentang Safika yah ? Maaf, aku lupa, tapi aku akan menceritakan tentangnya padamu.
Mungkin aku akan mencoba membuat data tentangnya.


About Safika
Nama lengkap : Safika Putri Amelia
Nama panggilan : Safika
Ciri – Ciri : Putih, rambut hitam pendek sebahu, poni seperti Dora
Hobi : Bullying !
Keahlian :
- Mengejek habis – habisan
- Mengucilkan orang lain
- Menyindir tepat sasaran
- Mengadu domba orang
- Merebut teman sebagai pancingan amarah
- Membuat orang sakit hati


Sebelum persahabatanku dan Renata putus, Renata sangat membenci Safika. Tapi sekarang Renata terus berduaan dengan Safika. Menurutku dia hanya terpaksa. Yah, menurutku dia harus mengakui bahwa tidak ada sahabat yang bisa sebaik aku.
Safika membalikan badannya,ia mengedip-ngedipkan matanya padaku.
“Lho, kok pindah tempat duduk lagi sih Vi ? Lagi menyusun rencana ?”, tanyanya sok manis padahal isi pertanyaannya itu nyindir sekali dan saat mengatakannya dia matanya diarahkan kepada Matt, dan anggota C2VL selain AKU.
Aku terus menulis tapi aku menatapnya sambil berkata, “Ow, maaf ya Saf, aku tidak tahu bahwa aku tidak boleh duduk di sini. Kalau begitu aku akan pindah.” Aku tetap bersikap natural walaupun sebetulnya aku ingin membentaknya.
Safika menegakkan tubuhnya. Ia memelankan suaranya. “Tidak, aku hanya bertanya kalian sedang menyusun rencana apa?” Dia menekankan kata rencana.
“Rencana ?”. Aku berhenti menulis, aku bersikap seakan-akan aku ini idiot, dan aku berusaha supaya terlihat bingung dan gugup. “Rencana apa? Bisa kau jelaskan ? Aku bingung dengan semua ini. Kemarin anjingku mati dan…dan…dompetku yang isinya masih penuh hilang tanpa jejak. Oh, aku sungguh terpukul. Masih adakah hal-hal ganjil yang membuat perasaanku tidak enak ? Kumohon Safika, jika kau tahu rencana apa apa yang mereka rencanakan untukku, tolong beritahu aku”. Aku mulai memutar arah pembicaraan.
“Ah…”, Safika ngedumel.
“Terima kasih telah memperingatkanku Saf. Jika benar apa yang kau katakan itu, aku akan berhati-hati.”
“Mmm…Ya, oke”
Safika kembali memutar tubuhnya dan duduk diam. Kurasa aku berhasil membuatnya keki. Dia sempat tersenyum padaku saat istirahat, tapi aku tahu dia terpaksa, karena tadi saat aku menyindirnya balik aku sempat dengar dia mendengus dan berdecak.

Chapter Five _ Anjing Penyakitan



C2VL bergidik setiap kali melihat anjing rabies berbulu gundul itu. Anjing itu selalu meraung tak keruan dan bermain di dekat tempat sampah.
Oke, kami memang tidak yakin anjing itu menderita rabies. Tapi kami cukup yakin untuk menvonis anjing itu penyakitan.
Oh – oh, kalian harus lihat perilaku cewek – cewek kelas 5 di lapangan ! Mereka mengelus anjing kotor itu dan berkata “ Cutie, cutie, kesini anjing manis.” Aku tidak tahu kapan anak-anak itu memeriksakan mata mereka ke dokter karena anjing itu sangat tidak mungkin jadi cute.
Kami semua tidak tahan ketika melihat mereka melempar bekal mereka ke arah anjing itu. Cathrine yang paling syok diantara kami karena adiknya ada di situ.
“Anet ! Demi Tuhan, apa yang kau lakukan ? Berhenti menyentuh anjing itu, bersihkan tanganmu ! Kau mau terserang virus macam apa ? “, Catherine menjerit diantara kerumunan anak-anak kelas 5. Dia merogoh saku dan melemparkan tisu basah pada Anet.
Anet menangkap tisu basah itu dan bukannya menggunakannya, ia memasukan tisu itu ke dalam sakunya sendiri.
“Kau mau kubagi sedikit, kakakku yang manis ?”, kata Anet sambil tersenyum jahil. Dia melangkah sedikit demi sedikit mendekati Catherine, sementara aku, Chira, dan Lala menjauh.
“Tidak, kau takkan melakukannya.”
“Aku akan melakukannya.”
“Awas saja kau…”
Terlambat. Anet sudah mulai mengejarnya dan berhasil menyebarluaskan virus anjing mengerikan itu. Catherine sudah kena. Anet mendekati kami bertiga. Aku tahu, dia akan menambah populasi manusia yang terserang penyakit itu. Pada kami.
“Oh, tidak”, kata Lala.
“Oh, tentu saja”, kata Anet.
“Kalian tahu teman-teman, langkah apa yang paling baik untuk keadaan darurat seperti ini…”, ujarku gemetar.
C2VL menarik napas.
“LARI !!!”
C2VL pun mulai berlari pontang-panting ke lantai tiga dan ketika kami sampai…
“Ingatkan aku bahwa kami takkan menyentuhmu dan adikmu lagi”, kataku pada Catherine.
“Kalian berdua…”, Chira memandang Catherine.
“Telah tercemar”, sambung Lala.
Catherine tertawa. “ Oh, yeah. Kupastikan itu.”
Kami tahu tawa kami akan meledak jika kami tidak membungkam mulut kami sesegera mungkin.

Chapter Four _ Kecerdasan Otak

Aku senang tidak ada pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi ternyata, penggantinya lebih buruk lagi. Kau tahu ? TEST IQ.
Pertama, kami harus mengerjakan 100 soal menyedihkan. Isinya matematika, pengetahuan umum, bahasa Indonesia, ipa, ips, pokoknya lengkap deh. Yang pasti matematikanya bikin pusing. Kebanyakan tentang pola dan pecahan. Ahh, AKU BENCI MATEMATIKA.
Lalu, kami harus mengerjakan soal-soal tolol itu lagi sebanyak 79. Ampun deh, keblenger banget ngerjainnya. 79 soal itu isinya tentang logika semuanya.
Aku bingung kenapa sih kami murid kelas 6 harus mengerjakan soal gila semacam itu. Jujur, aku sih tidak terlalu kesulitan mengerjakan soal-soal tersebut. Tapi aku tahu diantara teman-temanku sudah kelihatan ada yang tampangnya khawatir.
Ms.Eshter, setidaknya itu nama yang tertera di bajunya, segera mengumpulkan lembar soal dan jawaban ketika jarum jam menunjukan pukul 09.20. Nah, sekarang makin kelihatan siapa yang tampangnya khawatir.
Bel istirahat sudah berbunyi sejam yg lalu. Artinya tidak ada bel lagi untuk kami. Kami istirahat sesuka hati. Sepanjang istirahat kami bermain Polma : Polisi vs. Maling. Kami bergembira dan berteriak-teriak tanpa kejelasan, saling menabrak, menarik, menyeret, dan yang pasti aku tergencet di penjara.
Aduh, astaga ! Sekarang tidak ada lagi tampang-tampang khawatir, sebab kami semua yang berotak ataupun yang tidak sama sekali tidak menggunakan kecerdasan kami. Semua bergembira dan ini adalah mengapa aku tidak peduli tentang otak.

Chapter Three _ Tertawa di Atas Kedunguan Orang Lain

Hari ini kami olahraga di lapangan, dan materi hari ini adalah basket. Basket adalah olahraga kesukaan aku dan Chira. Selain itu kami juga suka bulutangkis.
Kami mempelajari 1 gerakan dasar permainan basket dan 5 gerakan yang akan diujikan dalam ujian praktek. Kulihat sih C2VL cukup cepat memutar bola dan dribble. Bagus. Itu membuatku bangga.
Aku dan Matthew cekikikan sepanjang pelajaran olahraga. Oh ya, Matthew adalah sahabat cowokku, dia suka bertingkah aneh tapi dia lucu serta menyenangkan dan pintar menjaga rahasia.
Matt dan aku berbisik-bisik sambil tertawa melihat tingkah sahabatku, si Renata. Ehm, maksudku ‘mantan’ sahabatku. Persahabatanku dan Renata putus karena makin hari dia makin menyebalkan dan dia sama sekali tidak bisa menjaga rahasia. Akhirnya aku tidak tahan dan aku bergaul bersama C2VL seperti sekarang ini.
Dia berdiri menunggu giliran main, sambil melipat tangannya dan menjulurkan sebelah kakinya ke samping. Tampangnya seolah-olah berkata “ Basket sih, kecil !”. Padahal aku tidak yakin dia pandai bermain basket.
Aku berkata, “Lihat itu Matt, dia sungguh SUPERMODEL !!!”. Kami berdua tertawa begitu keras sampai-sampai kehilangan keseimbangan dan nyaris jatuh.
“Ya, kau benar. Oh – oh, lihat itu ! Larinya manis sekali ! Pasti dia sedang ikut casting iklan permen. ”
“Sudah kubilang, itu kan cuma iklan bola basket ! Hahahahhahaha”, aku terpingkal.
Matt menahan tawa sambil mengamati Renata dan tiba-tiba tawanya meledak.”Ya ampun, aku tidak pernah melihat gaya seperti itu bahkan di NBA sekalipun !!! Ya ampun ya ampun perutku sakit !!”
Matt tertawa sambil berjingkrakkan. Aku tertawa sampai perutku sakit, aku juga ketinggalan teman – teman sebarisku yang sudah mulai main. HAHAHAHAHA !!!!
Aku betul betul sakit perut !!! Aku memang suka kelewat batas kalau menertawakan orang lain. Tapi yang ini lain, sebab masa dia mau menyuruhku tutup mulut karena dia terus – terusan bertingkah dungu ?

Chapter Two _ Nasi Ayam

“Lihat deh apa yang kubawa”, ujar Catherine pada aku, Lala, dan Chira.
Kami bertiga menengok ke arahnya. Dan kami melihat apa yang dia bawa, 4 kartu cantik bertuliskan ‘C2VL’ yang sudah dilaminating.
“Apa kau yang membuatnya ?”, tanyaku.
“Yes, of course.” Catherine tersenyum bangga.
“Hebat sekali. Aku menyukainya. Andai aku boleh mengambil sebuah.”
Chira dan Lala pasang muka setuju.
Catherine tertawa, “Ambilah, itu memang untuk kita”
Aku, Chira, dan Lala saling memandang dan ikut tertawa. Kami tos dengan kartu masing – masing dan tos pakai punggung telapak tangan kami sebanyak 3x sambil mengucapkan ‘ah’ 3x dengan intonasi sempurna dan menjentikkan jari kami . Itu tos kami.
“Nomor urut 11, pimpin doa !!! Ayo,kalian mau istirahat tidak ?”, seru Jonathan. Dia seksi liturgi. Aku sering bertengkar dengannya. Kadang dia bisa jadi baik tapi dia lebih sering cari masalah. Itu karena dia terus-terusan bertingkah menyebalkan.
“Itu kau.”, ujarku.
“Oh iya, aku lupa”, katanya sambil terkekeh lalu dia berjalan kecil ke depan kelas.





“Aaahhh !!!”
Kami menarik napas panjang setelah 3 jam berada di dalam kelas. Kau butuh itu saat keluar dari 6D, karena di dalam kelas dingin sekali. Udara di luar juga dingin sih. Terutama anginnya. Tapi itu jauh lebih baik daripada terus menerus menghirup udara AC sampai kau jadi beku. Kadang aku membayangkan bagaimana jika aku tidak mengenakan jaket, mungkin aku akan mati kedinginan.
“Ayo jajan, nanti keburu bel masuk lho”, ajak Lala bersemangat.
“Kita akan jajan, La. Kau tahu kita semua kelaparan, dan tubuh kita sedingin es.”, kata Chira.
“Ya tentu, aku tahu”, kata Lala, dan dia nyengir seperti kuda.
Kami barjalan beriringan. Kiri, kanan, kiri, kanan. Langkah kami berempat begitu keras, berderap menuruni tangga dari lantai 3.
“Nah, siapa yang akan jajan di kantin lama ?”, tanyaku ketika sampai di bawah.
“Itu aku, trima kasih”, Catherine tertawa cekikikan.
Chira menjulingkan matanya. “Aku akan ikut Catherine. Aku kepingin nasi ayam katsu.
Aku dan Lala saling mencubit. Itu tanda agar kami berbicara kompak. “Kalau begitu, kami ke kantin baru.”, ucap aku dan Lala bersamaan.
Kami berempat tertawa bersamaan.
“Kalau begitu, kami berdua akan menyusul kalian ke sana”, ujar Chira dan Catherine. Mereka bisa berbicara bersamaan karena mereka juga saling mencubit.
“Mbak iyo !!! Aku pesan nasi ayam kremes yah !”, teriak Lala dari depan toko ketika kami sampai di kantin baru.
Mbak iyo mondar-mandir dan berseru juga “Iyo, tunggu ya !”. Itu adalah alasan mengapa anak anak di sekolah memanggilnya begitu, karena mbak iyo selalu mengucapkan kata “iyo” untuk mengiyakan.
“Nah, kalau begitu beres.”, Lala tertawa.”Ayo, kau mau makan apa?”
Aku memiringkan kepala dan menatap satu persatu tempat jual makanan di kantin.
“Mungkin aku akan makan Nasi Ayam Karamel.”
“Aku akan menunggumu di stand Mbak Iyo, oke ?”
Aku mendekati stand nasi ayam dan memesan satu porsi nasi ayam caramel. Di sana agak sesak, dan ada grupnya cowok-cowok kelas 6. Grup itu bernama Brandboyz, mereka suka bergaya sok keren tapi menurutku biasa-biasa saja. Mereka juga suka bergerombol, seperti monyet.
Aku tidak mau C2VL jadi seperti itu. Aku ingin kami bersahabat dan tidak bersikap berlebihan, tapi sepertinya aku akan suka kami jadi istimewa. Itu berarti kami harus memiliki sesuatu keunggulan yang bisa dipublikasikan.
Setelah membeli makanan, aku menyusul Lala di tempat Mbak Iyo.
Ia sudah melahap nasi ayam kremesnya. Ia selalu kesulitan membuka plastik kecap, tapi sepertinya kali ini ia berhasil.
“Kapan kau akan berhenti makan nasi ayam kremes La?”, tanya Catherine keheranan, saat kami semua telah berkumpul kembali.
“Kau makan nasi ayam itu hampir setiap hari di sekolah”, timpal Chira.
“Aku makan sate kalau sedang ada bazaar”, bantah Lala.
“Saat bazaar dan hari biasa akan lain ceritanya”, jelasku.
“Yahh karena aku suka…”, Lala nyengir. “Lihatlah kalian juga makan nasi ayam. Bahkan kemarin Catherine dan Viana juga membeli ayam caramel. “
Kami memandangi diri kami dan makanan kami. Dia benar juga. Sekarang kami semua sedang makan nasi ayam walaupun masing – masing berbeda jenisnya.
“Tapi kami tidak makan setiap hari, kami hanya sering”, giliranku yg membantah sekarang.
“Tetap saja”
Kami berempat saling pandang dan tertawa.
“Mungkin kau benar”, ujar Chira.
“Memang, hahaha...”, jawab Lala sambil tertawa lebar.
Kami semua cekikikan terus terus dan terus sampai sulit menelan nasi ayam.
Kurasa aku tidak keberatan makan nasi ayam dalam jangka waktu panjang sampai aku belum mulai berkotek. Tok, tok, tok, Petok !!!

Chapter One _ This Is Us !

Hai, namaku Viana, aku murid sebuah sekolah bagus di bilangan Jakarta. Usiaku sekarang 12 tahun, dan aku duduk di kelas 6 SD. Aku menyukai tari namun aku tidak tertarik untuk ikut les tari jenis apapun. Aku memilih les piano yang terkesan lebih kalem, walaupun aku sama sekali tidak kalem. Aku seperti cacing kepanasan, aku ramai dan ceria.
Hei, jangan kira aku berdusta pada diriku, sebab walaupun aku tidak mengikuti bimbingan tari tapi aku selalu ikut menari di sekolah karena aku suka. Lagipula aku menyukai sesuatu yang berbeda, aku suka berbeda karna menurutku itu tidak aneh melainkan, istimewa.
Oke, jangan mulai salah arah deh. Kembali ke kehidupanku, di sekolah aku mempunyai 3 orang sahabat. Mereka sangat baik padaku dan aku juga berusaha bersikap baik pada mereka. Dan semoga persahabatan kami akan selalu baik – baik saja.
Sahabatku yang pertama, dia bernama Chira. Dia seorang penari berbakat, walaupun sama sepertiku, dia tidak ikut les tari jenis apapun. Badannya agak berisi, tapi sebetulnya ia cantik. Dan hebatnya, dia tidak pernah minder dengan hal itu. Ia telah diejek beratus-ratus kali tapi sepertinya dia oke-oke saja (terus terang aku juga kadang suka bercanda menggunakan hal itu, tapi aku hanya bercanda).
Nah selanjutnya, sahabatku yang bernama Cathrine. Dia juga bisa menari tapi dia pernah ikut les balet. Dia sama bawelnya dengan aku, tapi sepertinya dia jauh lebih cerewet. Catherine memiliki rambut keriting coklat yang lucu sekali. Poninya yang keriting selalu terangkat ke atas.Dia menderita alergi kulit yang berat tapi kurasa dia tidak pernah sedih. Dia selaluuuuu ceria.
Aku telah mengenal mereka sejak kelas 5, tapi sahabatku yang berikut ini baru kukenal di kelas 6. Namanya Lala. Dia tomboy, dan dia fans beratnya Lady Gaga. Bahkan dia memotong rambutnya persis seperti Lady Gaga, lurus panjang dan poni yang panjangnya sampai ke mata. Dia juga pandai menari sama seperti kami.
Kelasku,6D, adalah kelas terbaik yang pernah kutemui. Baik, sebelumnya aku memang pernah duduk di kelas kelas yang sangat baik, tapi tidak ada yang sebaik ini. Aku sangat menyukai 6D, kelas ini selalu ceria, sama sepertiku. Kami(murid 6D) bahkan masih sering memainkan permainan – permainan anak kecil, misalnya : Polisi vs. Maling atau kami biasa menyebutnya Polma, Petak Umpet, Kejar-Kejaran, Sepak Penghapus, yah aku akui itu sedikit memalukan tetapi sangat menyenangkan. Kami sering ditertawai kelas lain tapi siapa yang peduli ? Sekali bermain kami sulit untuk berhenti.
Oke, aku akan mulai bicara tentang kehidupanku. Umm…………maksudku kehidupan kami. Tapi yang akan bercerita aku kan ? Hehehe…