Selasa, 15 Juni 2010

Chapter Fifthteen _ Kejadian Aneh

Ujian telah selesai. Berminggu – minggu sudah kami lewatkan dengan kegiatan yang membosankan yaitu : belajar. Tapi sekarang kami sudah bebas, dan sudah tak ada lagi yang membebani kami. Kami hanya tinggal bersenang-senang, sambil berlatih modern dance untuk perpisahan nanti serta menunggu hasil ujian.
Hari ini, aku, Chira, Catherine, dan beberapa anak lainnya menjadi supporter acara cerdas cermat kelas lima sekolah kami di salah satu stasiun televisi. Kami naik bus sewaan sekolah ke sana.
Sesampainya di sana, aku langsung bersemangat. Sepertinya banyak hal yang bisa dijelajahi di sana. Oke, gedungnya memang sudah sangat tua dan menimbulkan sedikit kesan seram, tapi tak apa. Justru akan seru kalau kami menjelajah di sana.
Ketika aku memasuki lobi utama, udara sejuk langsung menyerbuku. Di sana dingin. Dan agak misterius. Tapi aku menyukai aromanya. Wangi kayu yang khas itu mengingatkanku akan suasana vila di Puncak.
Suporternya adalah anak – anak kelas enam, karena anak-anak kelas lima yang tidak ikut cerdas cermat ini sedang ulangan umum, sehingga tidak dapat ikut.
Kami duduk – duduk di ruang tunggu sambil melahap nasi Hoka – Hoka Bento yang dibagikan sekolah. Lalu, kami berniat berkeliling gedung ini, mencari sudut – sudut yang bisa dijadikan bahan permainan. Aku dan Chira segera mencari Pak Wiryo, untuk meminta izin.
“Bapak !!”, panggilku kepada Pak Wiryo yang sedang berjalan menuju pintu belakang auditorium.
“Ada apa, Vi?”, sahutnya.
Kami berdua berlari menghampiri. “Masih berapa lama Pak, sebelum kita mulai syutingnya ?”
Pak Wiryo melirik jam tangannya.”Dua jam lagi. Sekarang pukul 12, kita mulainya jam 2.”
“Lama sekali”, keluhku. “Jadi Pak, sambil mengisi waktu, boleh nggak kami dan teman – teman supporter lain berjalan – jalan berkeliling?”
“Boleh – boleh saja.”, kata Pak Wiryo sambil tersenyum melihat kami yang kegirangan.
“Yes ! Trims, Pak”, ujar Chira, hendak mengajakku berbalik dan pergi.
“Tunggu”, kata Pak Wiryo.”Tapi ada syaratnya.”
“Apa, Pak?”
“Kalian tidak boleh bermain di tempat – tempat yang tersembunyi, sepi, atau terlalu jauh dari sini. Dan jangan berpisah ya”, Pak Wiryo memperingatkan.
“Oke deh, Pak.”, jawab kami, tanpa terlalu menghiraukan isi peringatan Pak Wiryo. Lalu kami mencari anak – anak yang lain.
Beberapa menit kemudian, semuanya berkumpul dan menjadi satu rombongan yang terdiri dari aku, Chira, Catherine, Wandi, Andro, Thalita, Mary, Jessica dan Raka. Kami mulai menyusuri lorong panjang di depan pintu masuk daerah auditorium, yang dihiasi lukisan dinding di sepanjang jalannya.
“Dengar ya”, kataku.”Kalau ada petugas atau kru yang lewat dan bertanya apa yang sedang kita lakukan, bilang saja sedang lihat-lihat lukisan. Santai dan jalan pelan saja.”
Semuanya mengangguk. Benar saja, tak lama kemudian ada salah satu kru yang bertanya ramah kepada kami.”Sedang apa, adik – adik di sini?”
“Itu, cuma lihat-lihat lukisan, Pak”, jawabku sambil pura-pura memperhatikan pada lukisan kapal di sebelahku.
“Ya, cuma lihat lukisan kok Pak, lukisannya bagus-bagus.”, tambah Jessica.
“Oh, ya sudah, tapi jangan jauh – jauh dari rombongan ya.”, ujar salah satu kru itu.
Kami berjalan terus dan menemukan dua ruangan yang agak seram di ujung lorong. Di sebelah kiri, bersebelah dengan lift, ada jalan pendek menanjak ke atas, yang menuju ke ruangan seperti ruang tunggu dokter, di pojok sana ada piano. Lalu, di sebelah kanan, ada gudang besar, yang berisi property-property syuting. Di kedua ruangan itu tidak ada siapapun, terlebih karena lorong itu sepi sekali, jarang ada yang lewat.
Karna jalan di ruangan piano buntu, kami beralih ke gudang di sebelah kanan. Namun aku sempat sedikit kaget, karna saat aku melewati lift, lift itu terbuka sendiri tanpa ada siapapun di sana. Lama aku memandangi bayangan diriku sendiri di kaca lift yang terbuka itu, sebelum aku dipanggil teman-temanku yang mulai memasuki gudang besar.
“Lihat deh, di ujung sana ada sebuah jalan lagi, ke sana yuk”, ajak Wandi. Dia menunjuk ke ujung lain gudang besar. Di sana ada jalan lain, namun sepertinya jalan masuknya tertutup tumpukan kursi rotan.
“Nggak mau ah.”, tolak Mary. “Balik yuk, cari jalan lain saja. “
“Ya sudah deh.”
Kami pun berbalik dan meninggalkan gudang besar itu. Namun ketika baru setengah jalan menyusuri lorong, aku menyadari ada yang kurang di antara kami.
Aku mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. “Catherine!”, aku tersentak dan menghentikan langkahku. “Mana Catherine?”
“Bukankah tadi dia bersama kita di gudang?”, tanya Chira.
“Ya, rasanya begitu, tapi sekarang dia dimana?”, Thalita memandang berkeliling.
“Biar ku check ke gudang dan pojok piano lagi.”, ujar Raka dan Wandi.
Kami menunggu di lorong. Ketika Raka dan Wandi kembali, mereka melambaikan tangan sebagai tanda Catherine tidak ada di sana.
Langsung kami berjalan ke lobi utama. Siapa tahu dia ada di bangku untuk ruang tunggu tamu. Tapi tak ada dia di sana. Aku mengeluh putus asa.
“Ke mana sih tuh anak?”
Jessica menyela, “Aku mau ke toilet sebentar ya, kebelet.”
“Oke, kami tunggu di sini.”
Dan ketika Jessica kembali, di sampingnya ada Catherine.
“Catherina Raymond ! Ke mana saja kau ?”, aku menghampirinya.
“Cuma ke toilet kok.”
“Ngapain?”
“Membalas sms Rena, sambil, hehe, aku kebelet.”
“Bisa nggak sih bilang – bilang dulu kalau mau pergi?”
“Maaf deh, aku lupa.”
“Kau menghilang begitu, bikin panik saja, kukira kau tersesat karna ini kan tempat asing bagi kita, dasar nenek ceroboh.”
“Maaf, Viana.”
“Ya sudah, jangan menghilang begitu lagi ya ! Awas saja kau.”
“Iya deh.”
Kami menyusuri lorong menuju auditorium lagi, memutuskan untuk beristirahat sejenak di ruang tunggu, sekaligus mengecek tas kami dan keadaan di sana.
“Ahhh!!”, aku meneguk air minumku. Aku sangat haus setelah kebanyakan ngoceh. “Dasar Catherine, menghilang begitu, bikin panik saja dia.”
“Memang tuh, sudah kita panik, capek lagi keliling-kelilingnya.”, omel Andro.
Aku menyapa Rey lewat sms, karena kebosanan. Lalu dia membalas. Dan aku membalas lagi. Jadi, sambil berisitirahat aku memutuskan mengisi waktu dengan sms-an bersama Rey untuk beberapa saat.
“Yah, sms nya tidak ke-sent nih.”, keluhku. “Sinyalnya putus-putus terus. Bete deh.”
“Keluar saja Vi, cari sinyal. Tuh, keluar lewat pintu ke samping studio Club Jazz, kan dekat.”, Raka memberitahu.
Aku mengikuti sarannya. Aku keluar lewat pintu samping terdekat, yang menuju studio Club Jazz yang berada di luar gedung. Di sana sinyal handphone ku muncul lagi. Segera aku mengirim messagee ku yang belum terkirim tadi. Lalu aku kembali masuk ke dalam.
“Vi!”, teman-temanku menghampiriku. “Keluar yuk, duduk-duduk di tangga dekat tumbuh-tumbuhan itu.”
“Ayuk aja.”sahutku.”Eh, mana Thalita dan Catherine?”
“Tuh, di belakang, lagi minum, nanti nyusul katanya.”, kata Wandi.
Rombongan kami duduk-duduk di luar gedung. Aku bersandar pada salah satu pegangan tangga, dan melihat seekor kucing yang memandangi kami sebelum dia meloncat ke balik semak.
“Kucing hitam”, gumamku, namun sepertinya terdengar Chira yang berdiri di sebelahku.
“Kucing hitam itu …”, Chira ikut berkata pelan.”Semoga tidak menjadi pertanda buruk bagi kita hari ini.”
“Ya”, sahutku pelan.”Semoga.”
Tiba-tiba Thalita berlari menghampiri kami. “Catherine mana ? Tadi dia bersamaku ke toilet. Dan saat aku keluar, dia sudah menghilang. Kalian lihat dia?”
Yang lain langsung berkerumun. “Tidak, dia tidak bersama kami. Bukankah tadi dia bersamamu, sedang minum?”, tanya Mary.
“Ya, tadinya begitu, lalu aku mengajaknya ke toilet, dan saat aku keluar, dia menghilang.”
“Jangan aneh-aneh ah, Thal.”, ujarku. Kubuang jauh-jauh semua prasangka jelek di pikiranku.
“Aku nggak bohong.”
“Kita check ke toilet saja. Mungkin dia kembali lagi kesana.”, ajak Andro.
Kami semua mengikuti Andro, Raka, dan Wandi yang berjalan di depan, menuju toilet lobi utama.
“Nggak ada”, lapor Chira yang mengecek ke dalam.
Aku berlari ke pintu masuk di lobi utama, siapa tahu dia di sana. Tapi tidak ada Catherine. Cuma ada beberapa ibu-ibu dan anak-anak dari sekolah lain yang mengobrol di luar.
“Mana sih dia ? Catherine !!!”, aku memanggil ke seluruh penjuru lobi.
“Woi, dia di sini !!”, teriak Wandi. Kami segera menghampiri tempatnya berdiri.
“Catherine ! Ngapain kau berdiri di sana ?”, aku memanggilnya yang sedang mengutak- atik handphonenya. Di mana ? Coba tebak. Kami menemukannya di bawah tangga, tempat yang gelap dan tidak ada seorangpun di sana. Dia sendirian, menyendiri dari keramaian.
“Aku sedang … mencari sinyal”, jawabnya.
“Mencari sinyal.”gerutu Raka. “Mudah sekali dia bilang begitu.”
“Cath, kau ini kenapa sih ? Suka menghilang begitu saja. Cepat naik, atau akan kuseret kau keluar !”, kataku kesal.
“Ya, ya, tidak usah berbicara seperti begitu.”, Catherine segera menaiki tangga. “Sudah yuk, kita pergi dari sini.
Kami berjalan lagi, diam tanpa kata. Dan sampai di tempat kami duduk-duduk tadi. Semua kembali bersantai, namun aku tetap memikirkan hal tadi. Setelah dari sana, Catherine jadi aneh. Dia jadi suka menyendiri, dan dia tidak cerewet, riang, dan ramai. Sikapnya … aneh.
Untuk mengetahui lebih lanjut, aku mengajaknya berjalan-jalan sambil mengobrol.
Aku dan Catherine menyusuri studio Club Jazz, yang sudah tampak seperti rumah angker tanpa penghuni karna sudah tidak dipakai lagi.
“Jadi … kau tadi ke mana saja, Cath ?”
“Aku hanya mencari sinyal kok.”
“Tapi kan aku sudah bilang, kalau kau mau pergi beritahu dulu.”
“Maaf.”
“Kadang maaf saja tidak cukup. Kau membuat panik kami semua. Itu harus dibayar lebih.”, kataku sambil berusaha tertawa untuk mencairkan suasana.
Catherine terdiam. Lalu dia menunjuk ke tanjakan menurun seperti basement di depan kami.
“Itu.”
“Kenapa?”
“Jalan ke sana yuk.”
“Buat apa?”
“Jalan-jalan saja, kan bosan. Yuk, Vi.”, ujarnya sambil menggandengku.
“Ng..nggak ah.”
“Kenapa memangnya?”
“Kita ajak yang lain dulu ya? Balik dulu yuk.”, ajakku.
Aku dan Catherine berjalan kembali, hendak menemui teman-teman yang lain. Tapi disana hanya ada Wandi, Raka, dan Chira.
“Ke mana yang lain?”, tanya Catherine.
“Di dalam. Kayaknya lagi ngemil deh. Jessica bawa biscuit. Andro sedang ke auditorium. Memangnya mau ngapain?”, sahut Wandi.
“Kami menemukan jalan baru. Sepertinya oke untuk dijelajahi. Mau coba tidak ? Siapa tahu menyambung ke gudang besar di dekat pojok piano tadi.”, jelasku.
“Ya, boleh juga. Sekarang nih?”, ujar Raka bersemangat.
“Iya, sekarang.”
“Tidak apa-apa kita meninggalkan yang lain?”tanya Chira.
“Tidak apa-apa kok. Ayo, cepat.”, ajak Catherine tidak sabar.
“Oke. Di mana tempatnya ?”
“Ikuti kami.”
Aku dan Catherine menunjukan jalan ke basement tadi. Kami berlima mengikuti arah tanjakan menurun tersebut.
“Jadi … kalian tadi masuk kesini ?”, tanya Chira.
“Belum.”, tukasku. “Tepatnya, akan masuk kesana.”
Sementara itu, Wandi dan Raka melangkah maju.
“Woi, cewek – cewek, di sini ada pintu !”, teriak Wandi.
Aku dan Catra melangkah melewati sebuah mobil di basement itu, menuju pintu yang ditemukan Raka dan Wandi. Chira membuntuti ragu – ragu di belakang kami.
Ternyata di balik pintu itu, terdapat lorong panjang dan gelap. Juga ada beberapa motor di dekat pintu. Aku hanya mengintip di balik pintu, namun Raka dan Wandi mendekat masuk ke dalam pintu.
Tiba – tiba, aku mendengar suara bapak – bapak dari dalam pintu. Suara itu berat, dia meneriakan sesuatu yang kurang jelas, seperti hendak mengusir kami. Yang jelas, aku dibuat lari terbirit – birit ketika mendengar suara itu.
“Ayo , balik !!”, teriakku pada Raka, Wandi dan Catherine yang berada di dekat pintu. Setelah itu, aku langsung lari sekencang mungkin menjauhi daerah sana, sambil menggandeng Chira.
“Bapak itu mengusir kita.”, ujar Chira.
“Ya.”, sahutku.”Aku dibuat kaget olehnya.”
Beberapa detik kemudian, kami berlima telah berkumpul kembali, dan segera menjauhi tempat itu, lalu kembali ke tempat duduk – duduk tadi.
“Ke mana saja kalian ?”, tanya Jessica, disusul Thalita, Mary, dan Andro di belakangnya.
“Kami menemukan jalan baru. Mungkin ujungnya di gudang besar.”, jelasku.
“Yah … kok tidak ngajak-ngajak sih?”, gerutu Andro.
“Kami tadi terburu-buru.”
“Woi, ayo kita ke sana lagi. Sepertinya seru lho.”, ajak Catherine.
Aku menatapnya. Kesambet apa si Catherine ini ? Biasanya, kalau menemui tempat seram dia malah tidak mau kembali ke sana lagi.
“Ada apa lihat - lihat ?”, tanya Catherine, lalu menarik Chira. “Ayo, kita ke sana.”
Aku meringis ragu. Bener-bener deh, si Catherine ini, tidak biasanya dia jadi pemberani. Apalagi dia menjadi semacam team leader yang memimpin rombongan di depan.
Sesampainya di basement itu, para cowok – cowok dan Catherine menjelajahi lebih dalam untuk mengecek keadaan, kami para cewek – cewek menunggu di depan basement.
Sambil menunggu mereka kembali, aku berjalan – jalan di sekitar basement. Tiba-tiba, ada sebuah motor yang dikendarai seorang bapak berkulit gelap dan bertubuh gempal memasuki basement. Diparkirnya motor di dekat pintu menuju lorong. Tapi, sepertinya dia bukan petugas ataupun kru. Dia tidak mengenakan seragam. Dia memakai kemeja lengan panjang berwarna hitam. Juga celana panjang hitam dan sepatu mengkilat warna hitam. Semuanya serba hitam. Setelah selesai memarkir, ia merogoh sakunya, dan mengeluarkan sebatang rokok. Dia merokok sambil bersandar di motornya. Sepertinya dia tidak akan menjadi penghalang dalam perjalanan kami, tapi ada sinar jahat di matanya, sehingga aku segera menjauh dari tempatnya berdiri.
Terdengar suara derap kaki beberapa orang dari kejauhan. Lalu tampak sosok Raka, Wandi, Andro, dan Catherine.
“Tidak ada siapapun di sekitar sini, hanya bapak-bapak itu, kelihatannya.”, lapor Raka. “Jadi, kita mau masuk ke lorong di balik pintu itu ?”
“Entahlah.”, jawabku. “Sebenarnya aku agak enggan. Sepertinya di sana gelap sekali. Lagipula, tadi kan kita sempat diteriaki oleh seseorang. Bagaimana kalau kita diteriaki lagi. Aku tidak mau kaget sampai dua kali.”
“Diteriaki ?”, tanya Wandi keheranan.”Saat kita masuk barusan tidak ada yang meneriaki kita kok.”
“Bukan sekarang.”, kataku. “Yang tadi, saat kita cuma berlima.”
“Tidak ada tahu, Vi.”
“Ada !”, aku bersikeras.”Iya kan Catherine ? Tadi ada yang meneriaki kita kan ?”
“Apa?”
“Tadi ada yang meneriaki kita kan Cath ?”, sambung Chira, lalu berpaling padaku. “Benar Vi, tadi aku juga dengar kok.”
“Tuh kan !”, seruku. “Tadi aku mendengar kita diteriaki, sungguh.”
“Tapi-“
“Benar kan Rak ?”, aku berpaling pada Raka.
Raka menggeleng kuat – kuat. “Tidak ada kok.”
“Aku yakin ada ! Kalau tidak ada, suara siapa dong yang tadi aku dan Chira dengar ?”, kataku panik.
“Tidak tahu juga ya.”, ujar Catherine. “Mungkin kau berhalusinasi.”
Rasanya aku kepalaku ingin pecah. Kenapa semuanya bilang tidak ada siapapun di sana, tidak ada yang meneriaki kami? Apa-, aku hanya berhalusinasi? Tidak mungkin, karena aku mendengar dengan sangat jelas suara tadi. Ini betul-betul … aneh.
“Ya sudahlah Vi, tidak usah dipikirkan. Tapi aku juga mendengarnya kok. Mungkin kita berdua salah dengar.”, hibur Chira.
“Jadi, kita mau lanjut nih ?”, Andro memecah keheningan.
Kami semua terdiam. Lalu, semuanya mengangguk mantap.
Wandi, Catherine, dan Andro memimpin di depan. Aku, Chira, dan Raka berjalan dengan jarak agak jauh di belakang mereka. Dan di belakang kami, ada Jessica, Thalita dan Mary.
Kami menuruni sedikit tanjakan lagi untuk mencapai jalan menuju lorong. Dan kami melewati tempat bapak gempal tadi berdiri. Aku berusaha berjalan pelan dan santai saja, tetapi tiba-tiba bapak itu menatapku dan tersenyum jahat. Jadi, buru – buru aku meninggalkan Chira dan Raka, lalu menyusul Catherine dan lainnya di depan.
Baru berjalan sedikit dari pintu masuk ke lorong, kami menemukan tanjakan besar, panjang, dan curam ke atas, seperti di tempat parkir mobil di mall – mall. Tapi, di tengah-tengahnya ada tangga, sehingga tanjakan itu bisa dinaiki. Kami semua meniti tangga itu perlahan. Ujung tanjakan itu bukan pintu keluar kelihatannya. Memang ada sih, jalan di atas sana, tapi itu lebih mirip celah, karena kami harus amat sangat membungkuk untuk melewatinya. Langit-langit celah itu tidak beraturan, sehingga jadi mirip bekas reruntuhan.
Belum semuanya sampai di atas, Mary berhenti.
“Jangan lewat sini, ah. Sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan. Tempat ini mirip reruntuhan. Turun yuk.”
Kami semua berpandangan sebelum akhirnya memutuskan untuk turun, mengikuti Mary. Lalu, akhirnya kami hanya mondar mandir di sekitar tanjakan, karena sedikit ketakutan dan ragu untuk melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit kemudian, lewat seorang bapak, sepertinya dia bekerja di stasiun televisi ini, karena ia mengenakan seragam. Dia tersenyum pada kami, tanpa melarang kami ini-itu di tempat tersebut. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah nampan yang berisi nasi, lauk pauk, dan segelas air. Ternyata, bapak itu menaiki tanjakan tadi. Tanpa pikir panjang, Wandi memberikan isyarat untuk mengikuti bapak itu ke atas.
Bapak itu keluar melalui celah, lalu pergi ke samping. Kami keluar agak lama, karena harus saling membantu ketika keluar dari celah itu kalau tidak mau menanggung resiko jatuh. Namun, ketika Wandi dan Catherine mengulurkan tangan ke bawah untuk kesekian kalinya, sepertinya ada yang kurang lagi.
“Mana Mary dan Thalita ?”, tanya mereka berdua.
Kami semua menggeleng. Tapi aku berkata,”Mungkin mereka sudah kembali, karena sepertinya tadi Mary enggan naik lagi, sementara Thalita menemaninya.”
“Ya biarkan lah, yang penting kita lanjutkan saja perjalanan ini.”, ujar Andro bersemangat.
Tanpa menanggapinya, kami langsung berpencar dan melihat – lihat. Bahkan kami tidak sadar kalau kami sudah kehilangan jejak bapak itu.
“Tempat ini memang benar-benar seperti reruntuhan deh”, celetuk Chira.
“Yap, di sana sini banyak retakan dan celah, serta banyak bebatuan.”, komentarku.
“Jangan lupa soal rumput liarnya yang banyak lalat.”, tambah Jessica sambil mengibaskan kakinya yang dihinggapi lalat.
Setelah lama berputar – putar di atas, kami membuat keputusan akhir yaitu : turun. Karena di atas tidak ada jalan keluar atau sesuatu yang menarik.
Ketika kami menuruni tanjakan, kami bertemu dengan seorang bapak, sepertinya dia bekerja di stasiun televisi tersebut juga, karena dia mengenakan seragam. Ia tersenyum pada kami, tanpa menegur atau melarang ini-itu. Di tangan kanannya terdapat sebuah nampan, dengan piring berisi nasi, lauk pauk, dan segelas air putih.
Aku memutuskan untuk berhenti dan bertanya kepadanya, “Permisi Pak, numpang tanya, di ujung lorong ini ada jalan keluar tidak ?”
Chira menambahi, “Jalan keluar terdekat, menuju auditorium Pak, ehm,yah, maksud kami, kami agak tersesat.”
Bapak itu tersenyum. “Ada, di ujung sana ada tanjakan persis seperti ini lagi, kalian masuk saja, nanti di sana ada pintu menuju auditorium.”
“Oh, eh, terima kasih Pak.”, jawabku. Lalu, kami melanjutkan perjalanan.
Lorong itu sangat panjang, gelap, dan dingin. Angin dingin selalu berhembus mengikuti kami, entah darimana asalnya. Di tengah-tengah lorong, Raka terhenti.
“Eh, rasanya tadi kita sudah melihat bapak itu deh.”, kata Raka.
Kami semua terdiam dan berpikir. Trus, tiba-tiba Chira menyeletuk.
“Iya, betul ! Bapak itu, bukannya yang tadi kita ikuti ke atas tanjakan ya ? Dia bawa nampan juga kan ?”
“Oh iya ya.”, aku kebingungan.”Tapi masa pas naik kita mengikuti Bapak itu, terus pas turun ketemu dia lagi? Mana mungkin ?”
“Déjà vu !”, ujar Andro tiba – tiba.
“Ah, ya”, aku teringat.”Itu kan, Ndro, istilah orang Prancis untuk sesuatu yang rasanya pernah mereka lihat sebelumnya.”
“Yap, betul sekali.”
Angin berhembus kencang dan dingin, mengibaskan rambut kami seolah-olah perkataan kami tentang bapak tadi itu terkutuk.
“Viana ! Sudah yuk, kita kembali saja ! Cari jalan lain untuk keluar dari sini.”
“Sebentar Chir ! Aku mau lihat yang satu ini dulu ! Sepertinya ada semacam tangga di depan. Lagipula, kalau mau kembali, sudah jauh sekali Chir ! Dan ada bapak gempal yang bertampang jahat itu lagi ! Aku gak mau balik ah ! Sedikit lagi, tunggu !”, aku berjalan beberapa langkah dari tempat kami berkerumun.
Semuanya menunggu dengan harap-harap cemas.
Aku berjalan pelan, menjauhi teman-temanku. Kudengar suara Wandi dibelakang memperingatiku. “Awas Vi ! Ada lubang besar di depanmu.”
Aku kaget, dan langsung ngerem mendadak. Hampir aku terjatuh ke sana. Aku menatap jauh ke dalam. Lubang itu seperti selokan besar yang batu penutupnya lepas dan jebol. Air di dalamnya, hitam, dalam, dan membawa kelembapan, membuatku merasa lebih dingin daripada sebelumnya. Lubang itu, seperti … menyedotku.
Aku melompati sisi lubang besar itu, karena takut menatap ke dalam lagi. Lalu aku berpaling ke sisi kananku, temnpat tangga yang kuincar tadi berada. Tapi aku langsung berbalik kea rah teman-temanku yang lainnya kembali, dengan tatapan kecewa, aku berkata, “Bukan ini tangganya.”
Semuanya merengut kecewa juga. Tangga itu, jauh daripada yang kupikirkan. Tangga tersebut hanya tangga biasa dengan keramik putih murahan yang kotor. Tangga itu tidak berujung di ruangan besar atau terbuka seperti tadi. Di ujung tangga itu ada sebuah pintu berukuran tidak kecil ( tidak besar juga ) dengan dua daun pintu. Seperti tangga emergency exit. Namun, yang semakin membuatku enggan ke sana, bahkan mencoba membukanya, adalah aura di sana. Gelap, dingin, kosong, dan kotor. Tidak ada sesuatu yang bisa membuat kami berkeinginan untuk ke sana. Setidaknya, aku tidak punya keinginan untuk kesana.
“Ya sudah, balik yuk, Vi.”, ajak Jessica dengan nada menghibur.
Aku mengangguk, lalu aku menolehkan wajahku untuk terakhir kalinya ke ujung lorong. Tapi kudapati seseorang sedang berjalan ke sana.
“Catherine ?”, kataku pada diriku sendiri.
“Catherine !”, panggilku lebih keras. Semuanya kembali berbalik. Namun Catherine tidak menoleh padaku, dia hanya berkata,”Ayo ikut, aku masih penasaran !”
Aku terbengong – bengong, tapi bersama Andro, aku ikuti dia. Sementara yang lain hanya berjalan pelan dengan wajah cemas di belakang.
“Cath, tunggu !”, aku dan Andro mempercepat langkah. Tak terasa kami melewati hampir seisi lorong itu, mengikuti Catherine. Sungguh, aku tidak mengada – ada, di sana sangatttt dingin. Padahal, lorong tersebut bukan lorong dalam ruangan, tapi semacam lorong bawah tanah. Dan semstinya bawah tanah itu udaranya panas, bukannya dingin, terlebih di luar sedang terik.
“Catherine, nggak lucu deh !”, teriak Chira khawatir. “Kita nggak lagi bercanda. Lebih baik kita menempuh jalan lorong yang panjang tadi daripada terus, nanti tersesat lebih jauh !”
Catherine tidak menjawab, sementara aku mengisyaratkan pada Chira untuk tutup mulut dulu.
Tak lama kemudian, Catherine berteriak dari kejauhan, ketika sosok nya hampir lenyap dari pandanganku karena terlalu gelap.
“Ini tanjakan yang bapak tadi maksud ! Sini deh, persis seperti yang di dekat pintu masuk lorong !”
Aku dan Andro berlari secepat mungkin ke dekat Catherine, dan yang lain menyusul mendekati kami.
“Yah …”, Wandi menghela napas. “Buruk, kelihatannya.”
Aku memandang ke atas. Tampaknya tanjakan ini menuju ke gudang besar. Mungkin tidak ya ? Soalnya, banyak property – property syuting juga di situ. Tapi siapa tahu, di sini ada jalan menuju pintu yang tertutup tumpukan kursi rotan tadi, untuk ke gudang besar dan ke auditorium.
Catherine, Chira, dan Raka, maju ke depan. Wandi dan Andro berjalan di belakang mereka. Lalu baru aku dan Jessica di Wandi dan Andro, saling berpegangan karena tanjakan itu curam.
Sambil berjalan tertatih menaiki tangga, aku melirik ke sebelah kiri ku. Ada sebuah pojok gelap di bawah kiri tangga, berisi rongsokan yang tidak bisa aku tebak, karena gelap sekali sehingga wujudnya tidak terlihat. Aku segera kembali menatap ke depan. Karena, ketika aku melihat pojokan itu, desiran angin dingin membalut tubuhku dan membuatku merinding.
Sesampainya di atas, perasaanku langsung tidak enak. Seperti ada yang aneh disana, walaupun tampak sekilas tidak apa – apa. Namun aku merasakannya. Angin dingin, debu hitam, suasana sepi, seakan akan tempat ini belum pernah dijangkau manusia lain. Lukisan-lukisan property syuting lainnya seolah-olah menatapku dan menyuruh kami pergi, menambah ciut nyaliku dan mendebarkan jantungku lebih keras.
Aku mengedarkan pandangan, sambil tetap menggandeng Jessica. Semuanya buntu. Tidak ada jalan, atau lorong lagi. Rasanya aku semakin mengecil, aku ingin pergi dari situ, tapi aku tidak mau juga turun sendirian, jadi aku menunggu saja, berdiri dengan pandangan kosong dan perasaan tidak keruan.
“Tikus !!”, jerit Chira, lalu bersembunyi dibalik Raka.
“Ya ampun, bangkai tikus, yaiks”, Catherine mengernyit jijik.
Aku tidak bisa melihat bangkai tikus itu, karena tertutup Wandi, Andro, Chira, dan Raka, tapi benar deh, aku sungguh tidak ingin melihatnya.
“Turun saja yuk.”, kata Jessica.
Aku tetap diam, tapi bisa dibilang aku cukup lega setelah dia mengatakan itu, karena akhirnya kami pergi dari gudang aneh tersebut.
Lalu kami berdebat lagi ketika sampai di bawah. Chira, Raka, dan Jessica ingin balik. Padahal, kami sudah berjalan jauh sekali. Kalau Catherine, Andro, dan Wandi ingin terus. Sedangkan aku tidak memihak siapapun. Yang mana saja deh, yang penting kami bisa keluar dari tempat mengerikan ini.
Tapi, akhirnya kami terus. Kami berjalan sedikit lagi, dan berbelok ke kiri. Aku tersenyum lega. Udara segar. Aku menghirup udara segar. Betapa menyenangkan ! Kami sudah di luar !
Semuanya menjerit gembira, meloncat – loncat kegirangan, sambil berjalan ke atas. Ternyata kami berada di belakang gedung, tempat yang agak menjorok ke dalam. Kami tinggal menaiki dua jalan tanjakan yang besar ( dan jauh , banget ), lalu akan sampai di pintu lobi utama. Oke, jalannya masih lumayan jauh, tapi yang penting selamat lah.
Aku, Andro, Jessica, dan Raka , memimpin berjalan di depan, sedangkan Chira dan Catherine di belakang kami.
Baru sampai di tengah-tengah tanjakan pertama, akku menoleh ke belakang, dan mendapati Chira berjalan sendirian.
“Chir ?”, panggilku. “Catherine mana ?”
Semuanya menoleh ke arah Chira.
“Apaa ?”
“Catherine !”, ulangku.”Catherine di manaaa ? Bukannya tadi bersamamu ?”
“Oh iya.”, jawab Chira. “Catherine di belakang sini kok, iya kan Cath-“. Ucapannya terhenti ketika ia melihat Catherine tidak di belakangnya. “Mana Catherine ?”
“Mana Catherine ?”, tanyaku lagi. “Catherine !! Di mana kau ? Jawab aku !!”
“Catherineee ??”
“Cath, keluar dong ! Waktunya tinggal setengah jam lagi nih !! Syutingnya akan segera mulai ! Kita harus kembali !”
Semua memanggil – manggil nama Catherine. Tapi dia tidak ditemukan. Lalu kami berlari ke bawah lagi, dan … menemukannya. Dia sedang berjalan ke gudang besar, tetapi belum sampai sepenuhnya.
“Catherine !”, panggil Raka. “Kau ini mau ngapain sih ? Dari tadi menghilang terus. Kami sudah setengah jalan, jadi balik lagi gara – gara kau ! Capek tahu !”
Catherine berbalik dan mendekati kami. “Aku masih penasaran.”
“Tapi kan kau nggak boleh menghilang begitu saja !”
“Iyaa … tapi aku penasaran banget. Lewat gudang lah, kita cari-“
“Catherina !”, akhirnya aku gusar juga. “Kita sudah menemukan jalan pulang terbaik, dan sudah pasti kita bisa kembali. Waktu kita tinggal setengah jam ! Kita harus kembali ! Cepat, ikut kami, jangan menghilang lagi ! Shit !”
Semua memandangku seakan – akan aku baru menembus atmosfer.
“Tunggu apa lagi ? Ayo cepat- , ahh ! Lelet !”, aku marah – marah, tapi yang lain sudah mengikuti di belakang.
Kami berjalan beriringan, Chira, Raka dan Jessica di depan, aku, Wandi, dan Andro, di tengah, dan Catherine, di paling belakang, berjalan terseok-seok tanpa semangat.
Chira, Raka, dan Jessica, sudah sampai di pintu lobi utama. Aku, Andro, dan Wandi hamper sampai ke tangga, tapi kusempatkan diriku untuk berbalik dan mengecek Catherine sebentar di belokan terakhir, yang berjalan seperti putri keong.
“Cath ?”, ujarku, berhenti sejenak ( Andro, dan Wandi juga berhenti, padahal aku nggak nyuruh ). “Maaf yang tadi. Aku nggak bermaksud- yah, aku cuma ingin kita semua kembali dengan selamat, lewat jalan yang aman. Maaf karna tadi aku membentakmu.”
“Nggak apa – apa kok.”
“Yang benar ?”
“Iya.”
“Terus kau kok jalannya begitu, maksudku-, pelan banget.”
“Aku lagi … sakit perut sedikit.”
“Oh.”, jawabku singkat, Tadinya, aku ingin berjalan menghampirinya, merangkulnya, mengobrol sebentar, dan menggiringnya berjalan lebih cepat agar tidak ketinggalan yang lainnya. Tapi tiba – tiba rasanya ada yang menyentakkan tubuhku, sesuatu yang mengalir dalam diriku, menahanku agar tidak mendekatinya. Tidak biasanya begini. Seolah olah, ada sesuatu yang bilang padaku ,”Jangan dekati dia ! Dia tidak seperti yang kau bayangkan ! Dia bukan ibumu ! Dia monster kepala dua !”, atau “Percaya padaku, kalau kau ingin hidup, tinggalkan dia, dia haus darah.” seperti di film – film mengerikan. Tidak seperti itu juga sih. Hanya sesuatu yang, gimana ya, sulit dijelaskan, sesuatu yang menahanku dan aku juga menurutinya. Bukan seperti penghalang juga, lebih ke sesuatu yang positif, seperti penolong, yang tidak mau aku terjerumus.
Aku kembali pada rombongan. Kami mengobrol ramai, bersenda gurau, gembira karena telah melewati rintangan.
Kami memasuki lobi utama, bergiliran ke toilet ( bagi yang mau saja, ada beberapa ), dan hendak kembali ke auditorium. Kami mengobrol ramai, kegirangan, dan saling bercerita seru tentang pengalaman barusan. Namun, ketika hendak memasuki lorong studio menuju auditorium, kami semua berhenti, merasa ada yang kurang lagi di antara kami.
“Sumpah deh.. “, ujarku. “Kok kayaknya .. kita kurang lagi yah ?”
“Sepertinya begitu ..”, sahut Jessica. Lalu ia mulai menghitung-hitung. “Satu dua tiga empat lima .. enam. Lho, kok cuma enam ? Bukannya tadi kita bertujuh ?”
Kami berpandangan selama beberapa detik, sebelum akhirnya berteriak bersamaan.
“Catherine !”
“Di mana dia ?”
“Kok hilang lagi ?”
Catherine ternyata sudah tak bersama kami. Dia hilang tanpa jejak. Kami menelusuri jalan yang kami lalui tadi, dari lobi utama sampai ke tanjakan di luar ( tapi tidak sampai ke dekat tanjakan gudang tadi, karena tidak ada seorang pun dari kami yang mau ke sana ). Catherine tetap tidak ada di mana-mana. Kami memeriksa ke auditorium, lorong panjang yang di dalam gedung, keluar, bahkan sampai ke pojok piano dan gudang besar. Tapi Catherine betul-betul hilang tanpa jejak.
“Gimana nih ? Sepuluh menit lagi syutingnya mulai. Tapi kita belum juga menemukan Catherine. Dia sudah hilang selama dua puluh menit lebih.”, kataku sambil melihat jam di handphone.
“Ya mau digimanain lagi ?”, sahut Chira putus asa. “Kita dari tadi sudah muter-muter mencarinya. Tapi dia belum juga ditemukan kan ? Nah .”
“Kita coba berpencar sekali lagi ya.”, cetus Wandi. “Kalau tidak ditemukan juga, terpaksa kita laporkan ke guru atau penjaga setempat. Yahh, paling resikonya kita kena omel. Daripada Catherine tidak ditemukan sampai nanti sore. Gawat kan jadinya?”
Kami semua menghela napas, kemudian menggangguk.
Wandi mulai mengatur. “Oke, sekarang, Viana dan Andro ke depan, ke lobi utama. Jessica dan Chira ke lorong – lorong sekitar auditorium. Aku dan Raka ke bagian luar, di dekat Club Jazz dan taman sekitarnya. Mengerti ?”
“Ngerti !!”
“Ya sudah, mulai saja ya.”
Kami berpencar. Aku dan Andro menuju lobi utama. Kami berpisah dengan Chira dan Jessica di pertengahan lorong.
Aku dan Andro mengecek ke segala arah. Ke tangga, keluar, ke toilet, semuanya, sampai ke studio-studio. Aku mengeluh putus asa karena pencarian kami belum juga membawa hasil. Setelah lama berputar-putar di sekitar situ, kami berdua akhirnya memutuskan untuk kembali ke auditorium.
Kami berenam berkumpul kembali di dekat auditorium setelah seperempat jam berpencar.
“Sudah setengah jam Catherine hilang.”, ujar Chira gelisah.
“Iya. Sebentar lagi pasti kita disuruh berkumpul. Gimana nih ?”, kata Raka.
“Sebenarnya apa sih yang sedang terjadi ? Bagaimana kalau Catherine kenapa-napa ? Semoga nggak deh ..”, kata Jessica pelan.
“Jangan nakutin ah Jes !”, aku tertawa gugup. “Tenang saja, dia ga bakalan kenapa-napa kok. Bentar lagi pasti dia balik.”
“Yakin banget. Yah, semoga deh.”
“Kan mesti yakin ! Kita ga boleh putus asa ! Pasti kita bisa kok nemuin Catherine.”
Sepertinya kata-kataku kurang berpengaruh. Semuanya tetap bermuka masam tanpa semangat.
Kami beristirahat sebentar di kursi panjang yang berada di depan pintu menuju Club Jazz. Meneguk air minum sambil bermandikan peluh.
Lima menit lagi. Kami akan mulai syuting. Dan kalau Catherine belum ditemukan juga, bisa jadi syuting akan tertunda karena kami heboh mencari Catherine.
Kami semua baru saja hendak meninggalkan kursi tersebut, tapi tiba-tiba ada seseorang yang memasuki lorong auditorium itu. Seseorang yang berambut ikal kecoklatan. Seseorang yang tak asing bagi kami.
“Catherine !”, kami meloncat berdiri, lalu mengoreksi orang itu, yang ternyata adalah Catherine. Kami mengerubunginya. Penuh rasa gemas, capek, sekaligus senang.
“Catherine ! Kau darimana saja sih ? Kau sudah menghilang selama setengah jam tau !”, seruku , sambil merangkulnya. Tapi buru-buru kulepaskan rangkulanku. Aku masih merasakan sesuatu yang aneh. Sesuatu yang seperti … bukan Catherine.
“Aku dari tadi mencari kalian.”, ujar Catherine sambil tersenyum, namun wajahnya terlihat pucat sekali.
“Kau tadi menghilang di mana ? Bukannya tadi kau bersama kami ?”, serbu Andro.
“Aku … masih penasaran tadi … jadi, aku kembali ke gudang tadi.”
“Di sana kan tidak ada jalan Cath ?”
“Ada kok.”
“Di mana nya ?”
“Di balik lukisan.”
“Memangnya ada pintu atau jalan di balik lukisan ? Setahuku tidak ada deh. Kan tadi aku sudah meneliti setiap sudut di sana.”, kata Wandi.
“Pokoknya ada. Pintunya kecil. Di balik lukisan. Pintu kayu. Kecil banget.”
Kami berpandangan, bingung. Bagaimana mungkin ada pintu tersembunyi di balik lukisan ? Setidaknya, kalaupun ada, pasti pintu itu sudah tidak digunakan lagi.
“Ga mungkin Cath. Beneran tadi udah diperiksa seisi gudang itu sama kita kita. Jadi ga mungkin dong ada pintu kaya gitu. Apalagi tersembunyi di balik lukisan. Ngayal ah.”
Catherine bersikeras. “Pokoknya buatku ada. Aku lewat sana kok.”
“Gudang yang tadi ada tikus matinya ? Beneran ? Kau serius ?”
“Iya benar. Eh, tapi di sana ga ada tikus mati tahu.”
“Ada, bodoh. Kan kau sendiri yang bilang.”
“Ga ada. Bener deh.”
Aku melihat Catherine dari atas sampai bawah ( walaupun aku tahu itu sebenarnya tidak sopan ), tapi ini bukan waktunya ber-etika. Semuanya sedang panik. Catherine sendiri terlihat aneh. Auranya berbeda. Seakan-akan dia gelap. Seakan-akan dia bukan Catherine.
“Sudah sudah.”, leraiku. “Terus, pintunya menuju ke mana Cath ?”
“Ke auditorium.”
“Langsung ke auditorium?”
“Iya.”
Aku mengggaruk-garuk kepala. Pusing banget. Si Catherine kok malah kaya bikin cerita sendiri. Kayaknya ga mungkin banget deh. Lagian, Catherine kan penakut, masa dia berani ke sana gudang tadi sendirian ? Aku betul – betul tak habis pikir.
“Kau ke sana pas kami lagi di mana Cath ?”
“Pas aku baru naik tanjakan setengah. Aku ninggalin Chira di tanjakan pertama pas kita baru setengah jalan. Abis itu aku lewat gudang.”
“Kau ga ngikutin kita lagi?”
“Ya nggak lah.”
“Bukannya sampai di belokan terakhir menuju lobi utama, kau masih di belakang aku, Andro, dan Wandi ya ?”, tanyaku.
“Nggak. Aku nggak sampai ke situ kok.”
“Tapi kan aku nanya Cath, kau kenapa, karna jalanmu tuh lama banget dan kau benar-benar terlihat aneh tadi. Terus kau jawab, katanya kau sakit perut, iya kan, tadi begitu kan , Ndro, Wan ?”
Andro dan Wandi mengangguk, tapi Catherine menggeleng.
“Aku nggak ngomong gitu, Vi. Sumpah.”, kata Catherine dengan kening berkerut.
Aku tersenyum pucat. Kalau bukan Catherine yang tadi berbicara padaku, lalu siapa ?
“Catherine aku ga main ah. Kalau bukan kau, trus siapa yang tadi berjalan di belakang kita, yang menjawab pertanyaanku?”, kataku memucat.
“Ga tau deh. Intinya, aku nggak ngikutin kalian sampai atas, sampai tanjakan pertama selesai aja belum, aku ga balik lagi setelah pisah dari Chira. Aku lewat gudang. Terus pas keluar udah di auditorium. Lalu aku nyari kalian. Baru ketemu di sini, kan. Tapi kalian kok malah punya cerita versi sendiri. Aku nggak ngerti deh.”, jelas Catherine.
Jantungku berdetak cepat. Aku memandang teman-teman lainnya, tapi semuanya berekspresi sama. Panik. Pucat. Bingung. Lelah. Belum bisa mencerna semua petualangan yang versinya berbeda – beda ini.
Di tengah-tengah keheningan kami, suara Pak Wiryo serasa membelah langit.
“Anak-anak ! Cepat masuk ke auditorium. Sudah mau mulai. Sekolah kita barisan kedua. Cepat cepat !”
Kami memasuki auditorium sambil membawa barang masing-masing. Aku memberi isyarat kepada Chira untuk duduk bersebelahan dan agak jauh dari Catherine, karena aku ingin membicarakannya.
Aku duduk di bangku nomor dua dari pojok barisan. Di sebelah kiriku Thalita, di sebelah kananku Chira. Catherine di belakang kami, jadi tidak bisa mendengar apa yang kami bicarakan. Ohya, Thalita dan Mary sudah kembali bersama kami karena ternyata mereka sudah menunggu di dalam auditorium sejak tadi.
Aku membicarakan hal tadi dengan Chira dan Thalita, karena ada latihan dulu sebelum syuting mulai.
“Memang ada apa sih Vi ? Tadi kan aku ga ikut.”, ujar Thalita.
Aku menceritakan semuanya secara singkat. Thalita mengangguk-angguk mengerti, tapi air mukanya keheranan juga.
“Kayaknya si Catherine nemuin pintu yang tidak ada deh.”, ujar Chira. “Maksudku, mana ada sih pintu tersembunyi di balik lukisan. Apalagi masih terpakai.”
“Pikirku juga begitu.”, sahutku. “Tapi, Catherine tetap bersikeras. Aku jadi bingung banget.”
“Iya, aneh tau.”, timpal Thalita. “Catherine tuh penakut banget. Aku kan kenal dia dari kecil dulu. Mana mungkin dia berani ke gudang di lorong menyeramkan tadi? Apalagi sendirian doang. Ga mungkin, banget banget banget.”
Kami mengobrol ramai. Perutku rasanya bergejolak. Aku jadi merasa yang tadi itu bukan Catherine. Sambil mendengarkan Chira dan Thalita berbicara, aku memandangi Catherine. Dia sudah kembali seperti biasanya. Sudah sehat lagi. Sudah tertawa lagi. Auranya kembali biasa. Aku merasakan sesuatu yang hangat darinya. Seperti rasa persahabatan. Kelihatannya dia betul-betul sudah pulih.
“Eh eh, lihat deh.”, ujarku pada Chira dan Thalita. “Catherine kayaknya udah biasa lagi ya ?”
Thalita dan Chira ikut memandangnya. “Iya. Sudah seperti Catherine lagi.”
Aku tersenyum. Tapi kali ini senyum gembira. “Aku jadi senang deh.”
“Ya, tapi kejadian tadi tetap saja aneh. “
“Kita coba saja tanya sekali lagi, yuk ?”, ajak Thalita.
Tanpa menanggapinya, aku langsung bertanya-tanya lagi pada Catherine. Pertanyaan yang sama. Tapi jawabannya berbeda. Seperti saat kutanya dia hilang dimana, dia bilang dia hilang di belokan terakhir. Terus dia bilang benar, dia memang bilang dia sakit perut, setelah itu baru dia pisah dari kami. Lalu saat kutanyakan lagi, di gudang sana ada tikus mati atau tidak dia jawab ada. Semua jawabannya berbeda jauh dari yang pertama.
“Cath ?”, panggilku lagi sebelum aku berbalik darinya setelah bertanya.
“Apa?”
“Kok jawabanmu beda dari yang tadi sih?”
“Yang mana?”
“Yang tadi kami menemukanmu dari pintu Club Jazz. Kan aku nanya-nanya juga. Tapi kok jawabanmu beda, yang sekarang sama yang tadi?”
“Ah, kapan ? Kau baru nanya-nanya sekarang kok.”
“Tadi itu Cath. Banyak kok saksinya.”
“Kau ngigau yah ? Kau tadi tidak menanyaiku. Baru sekarang.”
Aku semakin bingung.
“Oke, oke. Thanks banget, Cath. Aku bener-bener puyeng sekarang.”, lalu aku berbalik kembali pada Thalita dan Chira.
Kuceritakan semua jawabannya barusan.
“Kok bisa sih jawabannya beda-beda ?”
“Ga tau juga, Chir. Lagian dia bilang tadi dia ga ditanyain.”
“Terus yang tadi ditanyain sama kita siapa ?”
“Duh … ga tau deh ! Aku pusing !”
“Kok jadinya begini sih …”
Kami bertiga berdiam diri sesaat. Beberapa menit kemudian, Thalita mengatakan sesuatu yang belum kami ingat dari tadi.
“Kalian ingat ga perkataan Pak Wiryo sebelum kita mulai menjelajah tadi ?”
Kami mengingat-ingat.
“Ah, ya, ingat”, kataku.
“Pesan-pesannya tadi itu kan …”
Aku teringat kata-kata Pak Wiryo. Tidak boleh bermain di tempat – tempat yang tersembunyi. Yang sepi. Yang terlalu jauh dari sini. Dan jangan berpisah. Dan kami, telah melanggarnya. Apakah Pak Wiryo memiliki maksud tersendiri dengan pesan itu ? Apakah ada hubungannya dengan keanehan di gedung tua ini ? Mungkin saja.
“Semuanya jadi lebih jelas sekarang.”, ujarku.
“Yah … seandainya kita menuruti Pak Wiryo tadi, mungkin Catherine takkan kenapa-napa seperti tadi.”, Chira berandai-andai.
“Namun semuanya telah terjadi.”, tambah Thalita.
Aku menghela napas. “Biarkan saja …”
“Biarkan apa ?”, tanya Chira dan Thalita bersamaan.
“Biarkan kejadian ini … tetap menjadi misteri di antara kita.”

Senin, 14 Juni 2010

Chapter Fourteen _ Sesi Psikologi

Cerita tentang hari ini belum selesai. Seusai istirahat, aku dan Chira dipanggil Babe ke lab IPA. Pasti karena mama kami yang melapor, padahal anak – anak lain juga kesal terhadap Safika. Fine, aku tidak takut kok. Aku dan Chira akan mewakili anak – anak lain untuk membela diri di hadapan Babe.
Tapi ternyata ketika kami mau menghadap Babe, Babe dan beberapa guru lainnya dipanggil ke kantor Suster. Jadi, aku dan Chira berkesempatan bermain – main sedikit, mumpung Babe sedang tidak ada.
Lab IPA sudah lama digosipkan berhantu. Sebenarnya sih, Cuma gara – gara ada tengkorak yang gosipnya dari mayat betulan. Memang sih, Lab IPA besar dan gelap. Tapi tidak terlalu menakutkan menurutku.
Kebetulan Ines sedang mengerjakan remedial ulangan juga di Lab IPA. Dan sebelum pergi tadi, Babe menyuruh aku dan Chira menemaninya di Lab IPA. Sepertinya lumayan mengerjainya sedikit, kan Babe sedang tidak ada.
“Nes, aku mau ke toilet dulu ya, tidak apa – apa kan, kutinggal sebentar bersama Chira ?”, ujarku pada Ines.
“Iya .. tidak apa – apa kok .. tapi Chira di sini yah, menemani aku. Soalnya gelap Vi ! Aku takut sendirian.”
“Sip deh. Iya kan Chira ?”
“Yup ,,”
Walaupun kubilang Chira takkan ikut, tapi seperti biasanya, agak sulit untuk menepati janji semacam itu. Jadi, bukan hanya aku yang keluar tetapi Chira juga. Dan kami buru – buru menutup pintu Lab IPA dari luar.
“Viana !! Chira !! Buka dong !! Gelap tahu !! Vi !!”, Ines berteriak – teriak dari dalam.
Aku dan Chira hanya tertawa.
“Bentar Nes, pintunya macet !!”, seruku. Padahal, sebenarnya tidak sih. Justru aku semakin mengencangkan tarikanku terhadap gagang pintu.
Sementara itu, Chira memperparah. Dia menutup teralis besi yang membuat Lab IPA terkadang seperti kandang ayam minimalis. Setelah itu, aku Chira buru – buru kabur.
“Bentar ya Nes, aku cari bantuan dulu, pintunya macet, sama sekali tidak bisa dibuka !”, padahal peryataanku itu sangat JAUH dari kenyataannya.
Chira cekikikan. “Ya ampun Vi, si Ines mau saja sih dibohongin kita.”
Aku tertawa lepas,”Memang tuh, si Ines, mudah sekali dibohongin.”
“Eh Vi, lomba ngesot yuk ! Finishnya di depan pintu kelas saja”.
“Ayo !”
Tak lama kemudian, kami segera berubah menjadi Suster Chira dan Suster Viana Ngesot.
Anak – anak cowok menertawakan kami lewat kaca di pintu tapi kami sama sekali tidak peduli.
Namun, Chira berubah licik ( dramatis sekali, padahal ini hanya urusan ngesot – ngesot-an, hahaha XD ). Di tengah jalan dia berlari menuju pintu dan hasilnya : aku terkurung di luar kelas sendirian, dan tampaknya tak ada SEORANG pun yang tergerak hatinya untuk membukakan pintu untukku.
Aku hanya menggedor – gedor pintu walaupun aku tahu tidak akan ada hasilnya karna cowok – cowok yang badannya besar – besar itu menahan pintu dengan segenap kekuatan mereka hanya untuk menjahiliku. Sementara itu, rok ku betul – betul kotor sekali karena aku ngesot – ngesot tadi.
Dengan keadaan yang serba minim, sepertinya kondisi ini cocok untuk mendramatisir.
“Inikah yang disebut karma ? Gara – gara aku menjahili Ines, kalian jadi setega ini padaku ? Apa salahku ? Aku hanya gadis kecil yang tidak berdosa ..”, ratapku di luar pintu. Sebetulnya aku agak geli juga bertingkah seperti itu, tapi tidak apa – apa, suatu saat pasti aku akan mendapatkan gelar Miss Dramatic.
“Tidak usah berlebihan begitu deh, Vi !”, Catherine ngakak dibalik pintu sementara anak – anak cowok tertawa menontonku.
“Makanya bukain pintunya ! Di sini panas tahu !”, balasku sambil terduduk putus asa di depan pintu.
Tiba – tiba Pak Rito lewat. Waduh, gawat nih. Bisa – bisa aku kena damprat karena bertingkah seperti gembel.
Tak tahunya, Pak Rito malah ikut tertawa melihatku. “Sedang apa kau di sini, Vi ?”
Langsung aku mengadu,”Tuh, aku dikunciin Pak !”
Tapi itupun tak menolong, Pak Rito hanya tertawa sambil berlalu.
“Kasihan deh ,, Viana ,, ngemis – ngemis sama Pak Rito tidak ditolongin juga .. Buwee ..”, ledek Nata dari dalam.
“Ih .. kita tidak menerima suster ngesot Vi !”, ledek Gerry, sambil cekikikan.
“Berisik !!”
“Nyebur ke got ya Vi ? Kok roknya kotor begitu ?”
“Diam !!!”
“Matinya kenapa, mbak suster ?”
“Norak kau !!”
Habislah aku, karna diledekin satu kelas.
Aku berjalan menuju tangga, dan melihat ke bawah. Ternyata Babe sedang melangkah menuju tangga, hendak naik ke atas. Buru-buru aku berlari dan menggedor pintu kelas, untuk memanggil Chira.
“Chir, Chir ! Babe udah mau naik. Buruan keluar ! Kita kan masi ngurung Ines di lab IPA ! Cepet ! Ntar kita dimarahin !”, teriakku dari balik pintu.
Chira mendekat ke pintu, namun belum membukanya. “Beneran ? Atau kau cuma bohong biar dibukakan pintu ?”
Aku merengut sambil mengacungkan jari telunjuk dari jari tengahku ke atas, membentuk huruf “V”. “Beneran. Suer. Kalo mau dimarain, gapapa juga sih ga keluar.”
“Iya , iya, aku keluar.”, Begitu Chira keluar, aku langsung menyambarnya dan menyeretnya menuju lab IPA.
Baru saja kami membuka teralis besi lab IPA, Babe sudah sampai di atas dan memergoki kami.
“Heh, lagi ngapain kalian ?”, tanya Babe curiga.
“Eh, itu, tadi teralis nya kesenggol Be, jadi ketutup, eh, baru dibuka gitu, hehe.”, Chira terkekeh gugup.
“Trus mana Ines ?”, tanya Babe lagi.
“Ya, di dalam lah Be. Emang dia jalan-jalan ke mana-mana nyari contekan.”, jawabku.
Babe mencibir. “Udah sono, masuk, temenin si Ines, bentar lagi gue masuk.”
Aku dan Chira berpandangan. “Gue?”
“Iya, kan biar gaul geto.”, sahut Babe sambil berjalan ke ruang guru.
Aku dan Chira geleng-geleng kepala, melihat gaya guru kami yang sok gaul itu. Lalu kami berjalan masuk ke dalam lab IPA, dan duduk di meja kedua dari pintu.
“Lho ? Udah ga macet ya pintunya ?”, tanya Ines saat kami masuk.
“Udah. Tadi udah dibetulin sama Pak Joko. “, jawabku ngasal. Pak Joko adalah salah satu penjaga sekolah kami. Tapi tetap saja aku cuma bohong, orang tadi aku yang ngunciin kok.
“Kok ga kedengeran bunyinya pas dibetulin ?”, tanya Ines keheranan.
“Gatau deh. Canggih kali Pak Joko nya.”
Ines menatap kami skeptis, namun kemudian kembali menekuni pekerjaannya. Sementara itu, aku dan Chira menunggu dengan bête di meja kami.
Lima belas menit kemudian, Babe masuk.
“Lama bener.”, kata Chira. “Babe abis kemana sih ?”
“Biasalah, orang sibuk. Syuting film, iklan, banyak deh .”, sahut Babe.
“Beh, ngayal nya jauh bener Be. Bukannya kata Babe dulu mantan kuli ?”, ujarku, ngasal lagi.
“Oh, iya.”, Babe ngeladenin, tapi sambil bercanda. Setahuku sih, Babe belum pernah jadi kuli bangunan. Ga tahu deh aslinya. “Dulu pas gue masi kerja di toko bangunan, jadi kuli, sering nyusun bata sama ngaduk semen tuh. Capek banget.”
“Enak jadi guru dong, Be ?”
“Ya iyalah ! Tapi capek ketemu anak-anak kaya kalian nih, bikin puyeng, yeng, yengg !! Mending balik ke profesi lama deh.”
Aku dan Chira cekikikan. “Ya udah, Be, balik aja jadi kuli.”
“Ga, mesti nyelesain masalah kalian dulu, kan. Udah buruan diam, biar bisa cepet selesainya, abis itu kalian damai deh sama Safika.”
Aku menyadari wajahkuku berubah kaku. Tawa ku lenyap seketika itu juga. “Safika ?”
“Iya, Safika. Sama Renata juga.”
“Babe emang ngomong apa saja tadi sama mereka berdua ?”, cecar Chira.
“Banyak. Gini lho, Vi, Chir, kayaknya kalian berantem gara-gara salah paham deh. Sebenarnya mungkin masalahnya sepele. Ga usah jadi berantem serius begini.”
“Bilang lah gitu sama Safika, Be !”, jawabku, sewot. “Kalaupun salah paham, bukan aku, Chira atau yang lainnya yang salah paham, tapi Safika sendiri. Selama ini aku nggak pernah macem-macem sama dia, jadi aku tadinya baik – baik aja. Sebelumnya juga Safika kelihatannya baik-baik aja di depanku. Tapi kadang-kadang dia suka aneh sendiri. Suka sinis. Suka ngatain di belakang. Kayaknya dia benci banget sama aku. Buktinya, dia aja minta foto aku buat dibakar. Tuh anak pasti ada kelainan jiwa !”
“Bener tuh Be !”, Chira mendukungku. “Babe gatau sih, betapa anehnya Safika. Masa dia suka ngomong sama tanaman ? Udah gitu, katanya dia bisa melihat ke dalam tubuh orang, dan ngomong sama organ-organ tubuhnya. Kemarin dia ngomong sama ginjalnya Catherine ! Gila dia !”
“Eh?”, kata Babe. “Data Safika yang ada di sekolah ga menjelaskan tentang pengalaman dirawat di rumah sakit jiwa tuh.”
Aku memutar bola mata. “Pemalsuan data, kali.”
Di tengah-tengah kemarahan aku dan Chira, Ines menghampiri meja kami. “Be, ini udah selesai. Di taruh mana ?”
“Taruh aja di meja saya di ruang guru.”
Aku merengut dan berbisik pada Chira. “Ines mah, orang kita udah keren-keren marahnya, udah sewot, ehhh, jadinya ancur. Kacau deh.”
“Tau tuh. Padahal kan susah gaya kaya gitu.”
Setelah Ines keluar, Babe berpaling lagi pada kami. “Nah ? Jadi, sampai mana tadi ?”
“Itu, kucing terbang.”
“Ish.. serius oneng ! Tadi sampai mana ngomongnya ? Lupa.”
“Kucingnya terbang .. wush wush .. jatoh .. gubrakk.”
“Sampai Safika.”, Chira membetulkan.
“Safika nya sampai di mana ?”
“Safika nya aneh – aneh.”
“Ah ya.”, ingatan Babe sudah pulih kelihatannya. “Si Safika itu, sebenernya pengen temenan sama kalian, tapi dia merasa dikucilkan.”
“Emang siapa yang mau temenan sama dia ?!”, jawabku dan Chira kompakan dengan berapi – api.
“Eh, eh, tenang dong. Jahat banget kalian.”
“Abis dianya juga sih. Kita kan ga mau temenan sama orang yang sakit jiwa. Apalagi dia benci sama kita. Ngapain coba kita temenan sama dia ? Ya kan Vi ?”
“Bener banget.”
“Ihh, denger dulu.”, Babe mengetuk meja. “Kalian mestinya bersyukur. Kalian itu kan lebih punya banyak temen. Lebih pandai bergaul. Lebih beruntung lah pokoknya. Mestinya, kalian itu berteman. Lagian kan, bentar lagi kalian mau berpisah. Baikan saja lah. Ga usah berantem-berantem gitu. Siapa juga yang rugi kalau berantem begini ? Kalian – kalian juga kan.”
Chira tercenung. Tapi aku tetap ngeyel.
“Begini lho Be, awalnya aku juga mau aja temenan sama dia. Tapi kan dia suka aneh. Aku jadinya males. Dia nya aja, dikit – dikit, nangis. Dikit-dikit, marah. Dikit-dikit, mukul. Ga bisa diajak bercanda. Aneh ! Babe tanyain aja sono satu-satu anak-anak di kelas, menurut mereka Safika gimana. Pasti ada yang bilang gila, ga asik, ga seru, pemarah, stress, gitu-gitu lah..”
“Ya, gimana yah, dia juga banyak tekanan di keluarganya, ya, sama papa-mamanya, dan lain-lain.. Dia ga seberuntung kalian. Itu membawa pengaruh juga ke pergaulan dia di sekolah. Tadi dia juga nangis-nangis di sini pas saya tanyain. Dia bilang dia dikucilkan sama kalian. ”
Aku mencibir, ga pengen tahu. “Tuh kan ! Cengeng . Dia kalau di depan Babe nangis-nangis. Nanti di belakang ngata-ngatain. Dikit-dikit, nangis. Bener kan apa kataku.”
“Mungkin karena tekanan di keluarganya itu Vi. Dia jadi agak sensitif. Mentalnya memang ga sekuat mental kamu. Kamu kan, punya banyak temen, yang bisa menghibur kamu, yang jadi temen main. Lagian kan, kamu emang tipe orang ceria. Haha-hihi mulu tiap hari. Mestinya, kamu bisa jadi temen yang baik buat Safika. Viana yang punya segudang lelucon. Viana yang percaya diri. Chira yang perhatian. Chira yang care. Catherine yang ketawa- ketawa terus. Catherine yang suka becanda. Lala yang tomboy. Lala yang punya banyak permainan. Geng kalian yang ramai. Seharusnya bisa jadi sahabat yang baik untuk dia.”
“Aku punya segudang lelucon. Ih, waw. Aku percaya diri ya ? Double waw.” gumamku. “Tapi benar juga sih. “
Babe tertawa. “Kamu itu, bukannya direnungi kata-kata saya yang barusan, malah mikirin yang lain. Dasar anak sedeng.”
“Enak aja sedeng. Keren tau. Kita kan istimewa gitu.”
Chira ikut tertawa. “Viana..Viana.. Aku dari tadi merenung, kamu malah mikirin yang lain, hahahaha.”
Aku nyengir, lalu kembali bicara pada Babe. “Apa bener Be, aku bisa sahabatan sama dia ? Maksudku, emang sih, aku keren, tapi apa Safika ga membenci aku ? Aku heran deh, udah aku keren gini, tapi dia-“.
“Dasar narsis !!”, kata Babe. “Mungkin sih, tapi dia bilang kalau dia benci kamu karna kamu benci dia.”
Aku mengernyit. “Salah Be, tapi dia benci aku karena ada apa-apanya, mungkin sesuatu yang tidak-dia-sebutkan-tadi. Aku benci dia, karna dia benci aku. Gitu yang bener.”
Chira mendukung. “Iya Be, dia benci kita, kita juga benci dia. Jadi kita benci dia, karna dia benci kita.”
“Gimana ? Kita benci dia ? Dia benci kita karna dia benci kita ? Dia benci dia ? Tau lah ! Terserah kalian saja. Emang menurut kalian, dia benci kalian kenapa ?”
Aku dan Chira menggeleng. Tapi tiba-tiba aku teringat. “Untuk jelasnya sih aku kurang tau. Tapi menurut Nata, mungkin dia iri sama kita – kita.”
“Iri ? Iri nya kenapa ?”
Aku menggeleng lagi, namun kujawab, “Entahlah. Mungkin … yah … karena aku keren, lucu, imut – imut gimanaaa gitu, atau-“
“Mulai deh, narsisnya muncul lagi. Kumat.”, kata Babe.
Aku dan Chira cekakak-cekikik sendiri.
“Apa yang dikatakan Viana itu sebenarnya ada benarnya Be , emang kenyataannya gitu sih…”, tambah Chira.
“Yaudah, terserah lah, tapi saya cuma ngasi tau aja, sebaiknya kalian segera baikan sama dia, supaya masing-masing pihak juga enak. Semuanya diuntungkan. Lagipula kan sekarang sudah mau ujian, jangan sampai masalah ini menganggu pikiran kalian. Semuanya biar di bawa santai ajalah. Kalau banyak masalah juga ga bagus buat kesehatan kalian.”
“Bentar lagi pasti mulai ngomongin stroke, serangan jantung, dan lain-lain nih. Be, sadar, Be, Babe udah mulai kayak psikolog, pasti nanti juga mau ngomongin soal emosional, kejiwaan, dan masalah yang biasa di omongin di tempat psikolog. Jangan sampai, nanti Babe juga mulai bilang, tatap .. mata saya”, gerutuku, sambil bercanda.
Kami bertiga tertawa.
“Kalau buat kalian, mah , bukan psikolog lagi, tapi psikiater !”, cetus Babe.
Chira protes, “Psikiater kan, buat orang gila !”
“Yaa, kenyataannya memang begitu kan ?”
“Babe, Babe, buka aja Be, tempat praktek sendiri. Haryono, spesialis kejiwaan, open 24 hour, bwahahahah.”, aku ngakak.
“Hahahahahhaha.” Lab IPA langsung penuh dengan suara tawa dua orang murid gila, dan seorang guru yang punya pekerjaan sampingan sebagai psikolog, atau psikiater, atau apalah namanya.
“Udah, udah , malah nyeleweng ke mana-mana omongannya.”. kata Babe. “Pokoknya, saya akan ngasi waktu beberapa hari, buat kalian berpikir, bagaimana baiknya persoalan kalian ini diselesaikan. Kalau perlu kalian akan saya damaikan. Pikirkan saja dulu, enaknya gimana. Nanti kalau sudah, bilang, oke.”
Aku bertingkah seolah-olah sedang menerawang , berpikir. “Boleh aja sih Be, aku mau aja damai, tapi jangan pakai salam-salaman tangan ya ? Norak tau Be. Kayak anak kelas satu aja.”
“Iya iya, terserah kalian deh. Ya sudah, pulang gih sono, sudah mau doa pulang tuh. Balik ke kelas. Ingat, pikirkan baik-baik ya.”
“Oke.”
Aku dan Chira pun keluar dari lab IPA.
“Eh, Vi..”, ujar Chira ketika kami sudah di luar. Dia berhenti berjalan ketika berada tepat di depan kelas. “Kamu mau ga temenan lagi sama Safika ?”
Aku menghela napas. “Mau-mau saja sih. Tapi … gimana ya ? Aku masih agak kesel sama dia. Aku heran saja, perasaan aku selalu bersikap baik sama dia, tapi dia selalu jahat sama aku. Coba deh, dibandingkan sama anggota C2VL yang lain, dia paling sensitif sama aku kan ? Di mata dia, semua yang aku lakukan salah. Dia kayaknya membenci aku lebih daripada apapun di dunia ini.”
“Yah , bener juga sih. Cuma dia emang rada nyolot gitu dari dulu Vi. Sukaa…yaa…membenci orang tanpa alasan yang jelas.”
“Jaa…di… ? Mau damai kan yah ? Aku… juga masih…bimbang sih. Tapi bener juga kata Babe, kita musuhan kaya gini ga ada untungnya. Aku…mau baikan saja deh. Sekaligus, nanti aku mau nanya, kenapa selama ini kayaknya dia benci banget padaku.”
“Beneran ?”
“Iya.”
“Serius?”
“Dua rius malah.”
Tanpa menunggu jawaban Chira lagi, aku masuk ke dalam kelas. Aku mendekati Safika.
“Saf.”, aku menepuk pundaknya. “Boleh … aku bicara sebentar ?”
Safika menatapku sinis. Namun ia menjawab , “Boleh . Mau bicara apa ?”
“Di luar saja.”, kutarik tangannya keluar.
“Be- begini. Aku… mau minta maaf. Maaf kalau selama ini aku sering membuatmu membenciku. Maaf kalau aku suka ngeselin. Tapi , aku sebenarnya ga bermaksud, cuma .. kau tahu kan Saf, aku emang orangnya kaya gini, suka … mungkin … ngelakuin hal- hal yang ga kau sukai. Maaf ya Saf. Aku mau … baikan.”
Dia menarik napas panjang. Kukira dia akan tersenyum, dan berkata hal – hal menyenangkan seperti ‘Ya, aku memaafkanmu. Kita sahabatan lagi ya ?’, atau ‘Baiklah, aku juga minta maaf. Aku memaafkanmu kok. Lagipula aku juga yang salah. Aku harap kita bisa berteman lagi.’ Dan seterusnya. Tapi dia malah berkata, “Ngapain kita baikan ? Bukannya kau membenciku ? Memang kau diceramahin apa sama Babe ?”
Mukaku memanas. “Aku ga diceramahin apa-apa sama Babe. Aku cuma sadar aja, ga ada gunanya kita musuhan kayak gini.”
“Nyadar ya ? Bagus . Suruh siapa bertingkah kaya Ratu Sejagad begitu ? Kau merebut semuanya dariku. Gara-gara kau, aku dikucilkan.”, Safika melenggang masuk ke dalam kelas, membuka tasnya dan mengambil tisu. Lalu ia mengelap matanya yang mulai basah.
Ihh !! Nyolot nyolot nyolot !! Sudah bagus aku minta maaf. Dasar ga tau diri, batinku kesal dalam hati. Tapi aku rasa aku masih mampu untuk tidak marah. Kalau aku sudah marah, bisa gawat jadinya. “Emang aku ngapain sih ? Emangnya aku bagiin selebaran pada semuanya ‘Mari Kita Jauhi Safika ”. Nggak kan ? Selama ini aku selalu baik padamu. Malah, aku selalu lebih ramah daripada, Catherine yang bercandanya suka kelewatan, Lala yang suka ngata-ngatain orang. Aku pernah mengataimu ? Nggak. Aku pernah meledekmu ? Nggak juga kan ? Aku salah apa ? Selama ini justru kau yang membuatku bingung ! Kau yang memusuhiku !”
Safika menangis sesenggukan. “Tapi-tapi, kau kan yang menghasut semuanya supaya pada memusuhiku ? Kau yang merenggut semuanya dari aku !”
Tak terasa, air mataku meleleh juga. Tapi aku tidak peduli. Ini saatnya aku membela diri. Ini saatnya mengungkapkan apa yang selama ini kami pendam. Jadi, aku terus melawan perkataan-perkataannya yang selama ini tidak pernah aku lakukan. “Eh, asal kau tahu ya, aku ga pernah SEKALIPUN menghasut teman-teman untuk memusuhimu ! Kau tuh dapat berita darimana sih kayak gitu ? Justru sekarang jadi kau sendiri yang memfitnahku !”
Sepertinya tangisan kami cukup mendatangkan tamu-tak-diundang ke dalam kelas. Aku mendengar banyak anak kelas lain berdatangan dan berbisik-bisik ataupun bertanya tanya. ‘Ada apa sih?’, ‘Pada kenapa sih?’, dan berbagai pertanyaan tak berguna lainnya. Semestinya aku mengusap air mataku dan menyuruh mereka semua keluar, tidak usah menonton kami bertengkar. Tapi aku betul-betul sedang tak terkendali. Untuk mengatakan beberapa kata untuk mengusir saja rasanya aku tak sanggup. Napasku tersendat-sendat. Aku sulit berkata-kata karena sedang menangis sesenggukan.
“Ya, tapi-kan kalau bukan kau, s-siapa lagi ?”
Rasanya darahku mendidih mendengar pertanyaan sebodoh itu. Masa, selama ini dia cuma asal nuduh aku sih ?
“Ya pokoknya bukan aku lah ! Emang apa sih yang bikin kau berprasangka kayak gitu padaku ? Aku salah apa ? Hah ?”, tanyaku gusar.
Safika tidak bisa menjawab lagi. Dia hanya terus menangis tanpa henti. Sementara aku, dengan wajah kemerahan, sibuk mengelap air mataku yang meleleh di pipi.
“A-aku .. aku juga .. aku ga bermaksud. A-aku cuma .. aku kira … k-kau .. kau yang ..”, Safika membuat satu kalimat terasa membutuhkan satu juta tahun untuk didengarkan.
“Ya, ya, aku tahu.”, aku menyelanya, walaupun aku tahu Mama tidak akan menyukai hal tersebut kalau dia ada di situ. ”Kau kira, aku yang menghasut teman-teman buat menjauhimu. Kau pikir popularitasmu turun 100%, ya? Kau pikir semua orang menjauhimu. Gara-gara aku. Walaupun aku nggak tahu sebenarnya apa yang aku perbuat. Oke, aku dapat peran lumayan penting di kelas. Aku punya teman-teman yang menurutku terbaik. Aku punya hal yang normal kan ? Kenapa harus aku yang kau benci ? Kau membenciku lebih daripada apapun , ya ? Jadi ? Kau sudah ngambil keputusan ? Aku mau kau apakan lagi ?”
“A-aku .. sudah jahat. Sepertinya jauh daripada yang aku pikirkan selama ini. Maaf.”
Aku menghela napas. Sepertinya ? SEPERTINYA ? Rasanya aku ingin membenamkan mukaku ke dalam toilet. Sudah jelas memang dia melakukannya, hal yang buruk, dan bukan sepertinya lagi dong ? Untung aku masih punya hati. Dan otak.
“Ya. Aku juga. Aku minta maaf. Aku sudah menyudutkanmu. Aku h-hampir .. yah .. aku juga hampir kehilangan kesabaran gara-gara masalah ini. Jadi .. menurutmu .. sebaiknya habis ini kita .. baikan ?”, ujarku. Bego. Aku mulai terdengar seperti murid taman kanak-kanak. Tapi aku bersyukur apa yang keluar dari mulutku ga semengerikan yang aku pikirkan. Dan untungnya, aku nggak bilang ‘aku hampir saja menamparmu barusan’.
“Menurutmu ?”
“Menurutku ? Baikan adalah kata pertama yang kupikirkan sejak masuk kelas tadi. Dan damai.”
Safika mengulurkan tangannya sambil tertawa gugup. “Baikan ? Damai ? Deal or no deal ?”
Aku tersenyum letih, sambil menjabat tangannya. “Deal.”
Tepuk tangan kecil – kecilan menggema di seluruh kelas. Dan tawa gembira. Lalu, dua detik kemudian, aku baru menyadari bahwa Nata merekam semua perdebatan, dan sesi tangis-menangis itu juga, ke dalam kamera video di handphonenya.
Oh, tidak, kataku pada diriku sendiri. Bertindak, Viana. Kau pasti ga mau video-mu disebarkan lewat Facebook,-dan mendapat ratusan comment dari semua orang. Kau akan jadi artis dadakan, dalam film dramatis yang cengeng. Kau takkan suka itu.
“Oke, oke. Pertunjukkan selesai ! Terima kasih sudah datang berkunjung hari ini. Silahkan datang lagi- silahkan datang beberapa abad lagi. Silahkan. Pintu keluar di sebelah sana.”, aku membubarkan penonton.
Setelah sepi ( bahkan Safika juga sudah pulang ), aku tinggal membereskan Nata, yang sedang asyik memainkan handphonenya.
“Hapus, cepat !”
“Hapus apa ?”
Aku memlemparkan tatapan tenang-namun-mengancam milikku yang termashyur padanya. “Jangan pura-pura bego deh. Aku tahu kau merekam semuanya ke dalam video.”
“Ga ada video apapun kok.”
Kulemparkan tatapanku sekali lagi.
Nata meringis. “Oke, aku hapus. Dan hentikan tatapanmu itu. Setidaknya, singkirkan.”
Aku menaikkan alis. “Jadi ? Kau mau tatapan seperti apa ?”
Nata tertawa. “Tatapan gembira. Senyum. Tunjukkan wujud aslimu, nona. Tidak usah sok mengancam begitu.”
“Begini ?”, aku melebarkan mataku yang masih sembap, maksudku setengah sembap, dan tersenyum senang dibuat-buat. Dan, akibatnya, beberapa detik setelahnya, aku dan Nata tertawa terbahak-bahak.
“Bukan-bukan begitu.”, kata Nata disela-sela tawanya. “Aku tahu cara membuatmu gembira.”
“Apa ? Ditraktir makan ? Itu sih ga usah diberitahu lagi !”
“Bukan, Sok Tahu.”, kata Nata, dan aku mencolek pipinya pelan.
“Lalu ?”
“Kau mau lagu Justin Bieber, Eenie Meenie ? Atau segudang lagu lainnya ? Aku bisa kirim, gratis.”
Aku tersenyum bersemangat. “Mau !”
Dan, begitulah. Kau, semuanya, yang membaca bagian ini, bisa menambahkan hal tersebut dalam ’10 Hal Kesukaan Viana’, kalau kau berminat. Yah, siapa tahu, itu juga bisa membuatmu tersenyum gembira sepertiku, ya kan ?


SEDIKIT TAMBAHAN, PLUS PLUS +++ DARI VIANA :

Ya ampun, aku harus mengucapkan sambutan apa lagi ? Oh. Bukan sambutan. Oke. Itu mudah.
Yap, pertama-tama, aku mau bilang, setelah kejadian ini, kasusku, maksudku, kami, yang berhubungan dengan Safika, ditutup. Kami jadi cukup akrab setelahnya. Kuulang sekali lagi, kubilang, kami. Ya, C2VL, Nata dan Safika. Lala punya usul bodoh yang mengerikan, yaitu, Nata dan Safika akan ditambahkan menjadi anggota C2VL. Mendengar hal tersebut, Chira merengut, Catherine memutar bola mata, dan aku menatapnya seolah-olah dia gila. Lalu aku menanggapinya, “Kau sinting ya ? Kau mau nama geng kita jadi “C2VLNS”?”, dan setelah itu, dia tidak pernah berusaha mengingatkanku akan usulnya. Boleh dibilang, itu bagus. Nama geng kami tetap C2VL tapi C2VL berteman dekat dengan dua orang lagi. Happily Ever After ? Mungkin aku harus mencari sebutan lain yang lebih pantas. Karena kalau tidak, aku yakin suatu saat akan ada yang bertanya, “Siapa yang menikah ?”.
Kulanjutkan ya. Sebenarnya, aku punya alasan lain yang membuatku menampilkan ‘Tatapan Gembira’ atau ‘Senyum Puas’ atau ‘Senyum Bersemangat’, atau apa sajalah. Bukan karena lagu Justin Bieber saja ( tapi itu tetap dimasukkan ke dalam daftar ’10 Hal Kesukaan Viana ), tapi ada hal lain. Yang pertama, aku lega tidak punya musuh lagi di kelas. Yang kedua, aku senang karena semuanya (C2VL), bisa menerima Nata dan Safika dengan baik. Dengan kedua hal ini, aku tidak usah khawatir diapa-apakan lagi oleh Safika, karna bagiku, kini segalanya sudah menjadi normal. Menyenangkan bukan ?
Ketiga, aku tidak melihat ada video- video tentang perselisihan ku dengan Safika, bahkan satupun juga tidak ada, di mana pun aku mencarinya. Di Facebook, di kalangan anak-anak sekolah, atau semuanya. Artinya, tidak ada makhluk lain (kecuali Nata), yang memanggilku untuk menghajar mereka (sadis sekali). Dan Nata juga sudah menghapus video tersebut, jadi, aku aman.
Keempat, aku senang dengan semua yang terjadi di sekelilingku. Aku senang dengan ketiga hal di atas. Kau tahu kan ? Setiap ada kesenangan, pasti ada senyuman. Dan itulah yang memang terjadi.
Kau mengerti maksudku. Tidak ? Oh, aku salah dengar barusan. Kau bilang ‘aku mengerti kok’. Baiklah. Aku selesaikan bagian ini sekarang. Chapter 14, SELESAI.